Jumat, 16 Desember 2011

mengukir kata

by Lentera Bias Jingga on Friday, December 16, 2011 at 6:34pm

buat : bang zatako

terus..terus..terus

mencari warta dari kegelapan fakta

di jalan-jalan yang penuh cadas

di jalan-jalan yang bergelimang culas

kadang belantara suara memekik

ke dalam rongga dada

kau menulis dalam genggaman duka

anak negeri yang meronta-ronta

di balik pesona kata yang kuasa

dari lidah-lidah yang terus bersuara

layaknya seorang juruwarta

berburu fakta lalu mengemas berita

lalu kau pergi masih dalam tugas mulia

sematkan semangat dalam dada

tentang kata yang terus membahana

jadi suara-suara pekik media

tanah ini belum terusik oleh ukiran kata

bukan karena apa-apa

terus..terus..terus

menuliskan fakta dalam kedalaman kata

tak berhingga, walau tubuh dijemput usia

pena tetap menjaga suara-suara

langit dalam kerudung senja

yang luput dari beningnya rasa

oleh : lentera bias jingga

selamat jalan buat Bang Zatako, tak ada yang sia-sia. semua kerja jadi saksi

perjalanan rasa dan duka menulis berita

kisah siang

by Lentera Bias Jingga on Friday, December 16, 2011 at 11:44am
men

kau beri setangkai bunga

mawar merah merona

bingkisan bijaksana

sebagai tanda rasa

menyinta bahasa

santun menyapa

siapa sebagai anak bangsa

mawar merona kasih semesta

mari kembali ke tanah

bumi persada

kutingkap di jemari kanan

kembang terselempang

harapan dinanti pulang

dalam kesadaran

gagasan berulang

dari masa depan

tersenyum kata

satu tujuan

Oleh : lentera bias jingga

hari ini aku sangat

terkesan dengan pemberian setangkai mawar merah hati

dari balai bahasa medan dengan program "AKU CINTA BAHASA INDONESIA"

melalui tangan kawan-kawan masa depan yang

menyulam pikiran anak-anak harapan

menyaksi malam

by Lentera Bias Jingga on Friday, December 16, 2011 at 12:34am

malam ini

kau simpan sajak pualam

yang kutulis seminggu silam

aku tersenyum diam

dalam benak tiada paham

tanya luka jadi kata

by Lentera Bias Jingga on Wednesday, December 14, 2011 at 10:43pm

lagi-lagi darah jadi tanah legenda

para jelata yang hilang dari peta

punggawa pun raja-raja berhati singa

mengapa cuma demikian kita adanya?

lagi-lagi senjata merangsek manusia

para jelata yang mesti dilindungi negara

dari pendusta yang suka bermain mata

mengapa sampai demikian kelakuan kita ?

biarkan airmata mengaliri bumi semesta

dalam bejana tembaga di ruang altar

punggawa pun raja-raja berhati singa

siapa yang ingin meminum darah saudara

dari sengketa tanah yang tak kunjung reda

tirai kemelut bangsa, mahir menyalib fakta

cuma begitukah cara-cara di ubun-ubun kita?

kemana janji terucap tiap memulai upacara

kita titah di bangku sekolah hingga sarjana

jadi apa manusia bila nyawa tak lagi berharga

ibarat bahasa tak lagi menunjukkan bangsa

biang petaka negeri warisan amuk angkara

ingkar janji dari sila ke sila yang ada di kepala

bersimaharajalela tangan-tangan penuh darah

bagaimana rupa, bila kesewenangan pilihan cara

andai mufakat tak lagi mengena untuk menjaga

siapa juga takkan tega menyimpan luka kata-kata

lalu untuk apa pula berpura-pura bukan durjana

lalu berhenti menjadi manusia bila tak dengan senjata

Minggu, 11 Desember 2011

martir

by Lentera Bias Jingga on Monday, December 12, 2011 at 2:11am

buat : sondang ht

kau lelaki gagah suarakan lapar

pada langit-langit yang mendung

penuh awan hitam, dalam hujan

air mata, darah, tanah dan api

di depan singgasana paduka

kau lukis awan hitam dalam

dada yang tegak menantang

setiap meradang, menyerang

batin yang bergolak, padam

lentera keadilan kian muram

tubuhmu termakan api idealisme

gagasan besar cita kemanusiaan

dari nalar yang tumbuh di tanah

gersang, di rumah yang dikitarii

ilalang kering kepada rerumputan

yang tak menyisakan lagi hijau

di ujung doa, kau membingkai

seluruh asa yang tertoreh pada

kitab-kitab sejarah menjadi

hujan yang membasahi tanah

di tinggal pergi orang-orang

yang lupa akan masa berulang

siapa lalu meracun isi kepala

dengan keadilan tanpa tersisa

lalu biar air mata darah diseka

di tanah gagasan cita semesta

punah begitu saja.tinggal lupa

kau lelaki gagah wujud isi kata

pada perjuangan aksi nyata

bagi orang-orang lapis bawah

terabai dari kisah romantika

para paduka dan punggawa

hingga api membakar tubuh

yang rapuh dalam cita kukuh

tanah air setegak seteguh

sampai langit runtuh

Lentera bias jingga

11 Desember 2011

selamat jalan kawan

hidup adalah jiwa-jiwa yang bergerak

kamera malam

by Lentera Bias Jingga on Saturday, December 10, 2011 at 1:23am

coba lihat ke langit

ada bulan tambun

tak berpinggang

memancar cahaya

serambi para pejalan

di sepinya terotoar

tanpa penghuni

siang kata-kata

menjadi usang

bulan tambun diurut sajak

cahaya merangkak

mengitari tubuh malam

tertimpah bebatuan

dan gemericik air

sungai kecil mengalir

pun lumut-lumut ganggang

menempal pada rerumput

dibawa hanyut jadi denyut

sepanjang waktu

aku melongok ke jendela

lelaki setengah baya

ada di depan sana

bersiul lagak

di hadapan belia

perjaka wanita tua muda

musik dimainkan badan bergoyang

dalam irama dondang melayu riang

angin datang , pohon-pohon tumbang

melihat bulan tambun berpetualang

lelaki setengah baya

tengah bertelanjang dada

di bawah sinar bulan tambun

hampir tertutup awan hitam merona

siapa terkenang bulan tambun

jatuh tepat di ujung pematang

lelaki pulang hujan pun datang

basahi gang dari jalan pulang

lelaki pencerita jurung

by Lentera Bias Jingga on Friday, December 9, 2011 at 4:18pm

petang itu tak jadi kelabu

walau tabiat desember

awan selalu membalut

langit biru pada sampan

pencari ikan di hulu-hulu

bersama lelaki pencerita

yang menyulam rindu

di ujung sungai wampu

terbayang lelaki tua

penggali pasir di atas air

merakit bubu dari bambu

bertelanjang dada menunggu waktu

lubuk di aru jelajah jurung

ikan gaharu

petang menudung langit biru

lelaki pencerita jurung terus menanti

bubu-bubu disusun di tepi

sungai wampu

langit meredup

lelaki tua bertelanjang dada

pergi ke hulu menabur bubu

di sepanjang tepian bambu

saraut batang hanyut dari hulu

jurung masuk ke bubu

gelepar rindu

melihat wampu

malam pun berlalu

ada rindu pada lelaki

pencerita jurung

di ujung bubu di tepian wampu

di sepanjang rumpun bambu

by : lentera bias jingga

buat sahabatku Aryo si perindu jurung

di metateater riau

lelaki pertigaan di ujung kegelapan

by Lentera Bias Jingga on Thursday, December 1, 2011 at 3:51am

di ujung jalan itu

di pertigaan lampu trafick light

di bawah tenda hitam legam

ia mengayuh malam membawa kelam

dengan tinggal seteguk kopi pahit

pun ampas hitam sisa tadi malam

ia menggelut dingin dan sepi

yang bercampur abu rokok

dan lumpur sepatu perempuan

tak berperawakan penjaga bulan

di sadel-sadel tua yang berdenyit

terang melantun symphony perang

taruhkan hidup tanpa tidur panjang

terjaga bersama embun menyelimuti

pinang-pinang sepanjang trotoar jalan

ternanti orang-orang singgah

dan belas yang entah bagaimana

mengulur kocek selembar demi selembar

menyeduh air hangat perawat dahaga

dari pekatnya dingin menusuk tulang

malam merangkak menjemput awan

larut membawa ngilu yang singgah perlahan

di lengan biar tak sadar mata ingin terpejam

angan melayang saku pun digerayang hilang

tinggal kertas hutang terlilit di celah malam

bersama harapan yang terbang melayang

lelaki penjaga malam hilang dalam kegelapan

by :Lentera bias jingga

seraut malam di pertigaan jalan listrik medan

Minggu, 27 November 2011

hingga benang hijrah terulur jingga

by Lentera Bias Jingga on Sunday, November 27, 2011 at 10:22pm

demi waktu terulur berulang mengelat galau

rapuh ripuk dibalut sejumput hasrat, walau

guratan timur mengembang hingga di barat

namun ragu terus menggantung di jendela jiwa

rumah kita tak selalu terbuka. ada sobekan luka

di dahi para pencari kata yang lama berdiam saja

memintal dalam raut masa yang menghujam malam

tinggalkan seluruh tahu menudung cakrawala jingga

memulai hikayat dari denyut nadi hingga tercipta hari

pergi sisakan tubuh yang lelap dalam serat nubuat

lalu langkah selalu tertinggal sepenuh ayat-ayat

tak terpecah pun pada niat yang tegak di selasar

entah mengapa lalai terus menggoda jiwa-jiwa

yang kering dimakan masa hingga tumbuh tega

di sepanjang perjalanan yang tak kunjung tiba

ke batas impian ke pelangi harapan di depan sana, tetap

terasa jejak ada di belakang mencari nasib dikandung badan

padahal kata tumbuh tegak menyulam isi kepala berjuta-juta

di tanah-tanah tempat tumbuh carut naluri purba yang lupa

lalu suka menisbatkan dusta antara kata dan jejak langkah

walau ingin menyulam masa yang maya hingga tubuh bangka

dengan benang waktu yang terulur dari jendela raga siapa saja

by : lentera bias jingga

simardan dan sampuraga

by Lentera Bias Jingga on Friday, November 18, 2011 at 8:39pm

langit malam ini ingin bercerita

seraut anak-anak di beranda

tentang legenda tanah pusaka

yang lama tertinggal di pustaka

ada simardan juga sampuraga

yang kesohor di zaman beheula

tercatat di lembar kertas biasa

tersirat amanat kelakuan purba

cerita meluncur dari bingkai kata

meresap makna ke penjuru mata

tumbuh di dada bersemi bianglala

merebak jadi pusaran cakrawala

mari kemari kanak-kanak gembira

hilangkan duka beban matematika

yang ajarkan akal dangkal semata

pergi ke pusat dosa anak durhaka

tagih cerita semenda pelipur lara

bukan di sekolah yang bebal cara

cuma makian,cela, kasar kata-kata

tumbuhkan jiwa terpasung aniaya

dengarlah anak-anak perindu cerita

bahasa itu simardan dan sampuraga

abaikan bunda peneduh kasih nyata

hendak membelah langit menjadi dua

senanglah hati dalam dekapan bunda

mendendang kisah buah hati semata

walau langit malam ini ingin bercerita

simardan sampuraga cukup jadi tanda

by : zulkarnain siregar

serayu

by Lentera Bias Jingga on Tuesday, November 15, 2011 at 10:25pm

malam ini

langit mengurung rindu

menutup jendela ragu

meski galau menunggu

kata berlabuh untuk kesekian waktu

menanti bulan lugu di celah dedaun jambu

episode hujan

by Lentera Bias Jingga on Friday, November 4, 2011 at 11:06pm

kau tuang sampanye dalam gelas

bening tak bermotif apa-apa hening

sayup-sayup diiring seulas symphony

nomor sembilan bethoven, petang ini

hingga kuhirup wangi tubuhmu dingin

terasa sintal, ingin menggamit jemari

dalam lekukan rahasia tiris-tiris itu

tapi kau terus menari dengan genit

menebar kuyub di jalan-jalan tanpa

penerang raga di tiang-tiang lampu

hingga begini malam.

aku terengah-engah dalam desah nafasmu yang terus

mencumbu seluruh tubuh kasar meluruh-lirih bagai garis

garis membayang lapis di kanvas, kaku tak berwarna lalu

hilang terhapus titis air mata, resah gelisah terus meronta

ronta di dada mengapa ada tanya mengiring setiap benak

lalu mencari soal harus hujan jadi tersangka pertengkaran

kita. sedang jendela belum dibuka. ada apa di luar sana

by : lentera bias jingga (ZS)

khusus buat pemilik status, Pak Win

terima kasih telah mengilhami satu sesi

episode hujan

cerutu lelaki tua

by Lentera Bias Jingga on Thursday, October 27, 2011 at 3:30pm

lalu tanda itu ada

di meja tusam kiri

kamar 83 ujung

ia letakkan puntung

cerutu lelaki tua

yang..

pernah bercerita

tentang :

sumpah palapa

sumpah pemuda

dekat jendela

kamar yolanda:

angin menyapu cerutu

lelaki tua dan cerita,

...........................

terbang entah kemana?

by: lbj

harum makrifat

by Lentera Bias Jingga on Monday, October 24, 2011 at 12:24am

kucumbu aras-Mu di celah dedaunan

malam yang melipat rahasia semesta

antara langit dan bumi tumpuan jejak

waktu yang terus bergerak 6666 ayat

di setiap tubuh pemilik hati yang kudus

.......................................

.................................

...........................

...................

............

.......

...

keraguan lalu menyatu dalam pikir itu

sebab

siapa aku

dalam pusaran

waktu

tak

terbentuk

.

.

.

.

.

.

.

nihil

by : zulkarnain siregar

jalan masih panjang

by Lentera Bias Jingga on Saturday, October 22, 2011 at 10:56pm

selamat jalan, kawan

hidup sekali berarti

setelah itu

janji

revolusi takkan henti

di jalan kontradiksi

racun menanak diri

juga cuma sekali

tak teraju teori

laku rujuk aksi

nyali berdikari

itu tak terbeli

lalu tegakkan diri

di belantara

negeri tak

percaya

diri

biar jasad mati

revolusi

belum jadi

kecuali hati

telah

mati

siapa hari-hari nanti

jadi peneguh bukti ?

asia afrika jadi

nyali sekuat

Khaddafi

selamat jalan

kawan khaddafi

zs

Kamis, 13 Oktober 2011

syair tetangga

by Zulkarnain Siregar on Friday, October 14, 2011 at 4:53pm

kalau hendak memberi tanda

di camar bulan dari tetangga

persilah kata mengawal muka

tepak bersirih pertanda buka

tidak melayu bila tak menyapa

mengapa tetangga begitu tega

ganti peringgan asal suka-suka

tanpa pertimbang jiwa saudara

sudahlah ligitan hilang dimata

tangan menggapai tak bersua

tiba camar bulan jadi perkara

ulah tetangga seberang sana

biar perahu berlabuh di malaka

selatnya lapang tak bedermaga

kalau niat hati terus bertetangga

balikkan pancang ke asal semula

mari bersama sisihkan rasa duka

rancang cara tangan lalu terbuka

tidak memanas oleh nafsu belaka

sebab melayu tahu rupa menjaga

biar pemimpin suka berhadap muka

baca sejarah indonesia - malaysia

adat melayu merata dimana-mana

mengapa rumpun elok tak terjaga

oleh : zulkarnain siregar

14 oktober 2011

camar rembulan

by Zulkarnain Siregar on Friday, October 14, 2011 at 12:42am

kutangkap sayapmu yang lama kian terluka

ketika rembulan manis tak hendak meningkap rasa

lalu kutancapkan pancang-pancang sebagai tanda

bahwa aku ada dalam buaian rindu nusantara

tapi kemana ibunda yang lama tak bersua

tinggalkan aku seperti lupa adanya

meronta dalam cengkeraman tuan latifundia

karena rindu tak lagi punya arti apa-apa

biar lah camar hinggap ke tiang-tiang pancang

walau rembulan tak hendak menerang jiwa malam

lalu bersemayam perompak dari sampan-sampan

seperti tak bertuan kibarkan lawan sejuta pemberang

camar bulan hampir hilang dari catatan nusa kalimantan

by : Zulkarnain Siregar

13 Oktober 2011

Rabu, 12 Oktober 2011

tuan latifundium

by Zulkarnain Siregar on Thursday, October 13, 2011 at 12:50pm

hendak kemana-mana

luas tanah kaupagar

mengurung diri dalam

serakah dan ketamakan

hak ulayat pun tinggal

dalam catatan sengketa

terus berkepanjangan

hendak bagaimana jua

lapang tanah kautanam

mengiring diri dalam

kebencian orang habis

ladang hingga hilang

lahan air dari kehidupan

lalu hilir tinggal gersang

meregang semua harapan

tak terbayang bencana

datang selalu dibelakang

balik ke asal tanah awal

lahir dikandung badan

jadi ladang belantara

tak bertuan berhutan

hilang pesan di badan

menuju akhir haribaan

sela-sela petak tanah

satu kali dua yang span

menyimpan tubuh kaku

dalam dingin merasuk

kembali ke janji waktu

yang terus jadi ingatan

by : Zulkarnain Siregas

siapa tak terbayang


by Zulkarnain Siregar on Saturday, October 8, 2011 at 12:35pm
ingat waktu-waktu itu
jelang malam minggu
siap-siap setrika baju
beli tancho di kios gardu
lalu kilat-kilat semir sepatu
dengan astuti bonceng satu

wuih, angan pun bertandang
menembus gulita ladangladang
ke rumah kasih semata dirindu
nun jauh di kampung seberang
seminggu sudah tak bertemu
hati riang asa mengembang
mata memandang cinta terbayang

malam minggu janji dipasang
langit terang bulan berjenjang
lihat dara dan lajang lalulalang
di jalan-jalan bergandeng tangan
merayu angan bintang tertawan
rasa siapa tak ingin mengulang

hm..malam minggu yang panjang



by: zulkarnain siregar
kisah malam minggu yang panjang

kaupetik kuntum yasin, malam ini


by Zulkarnain Siregar on Thursday, October 6, 2011 at 3:33pm
malam ini...(entah seperti apa ?)
kau petikkan kuntum-kuntum yasin
dalam rona tajwid yang mewangi
ruang tamu dan kamar kalbu kita.

sungguh aku sempat tertegun
oleh lantun senandung, seolah
ia ingin melukis hening malam
dengan irama kampung suluk
tempat kita pernah berdua
memuja-muji kebesaran-Nya.

ingin rasanya menahan malam
yang penuh warna-warni irama
penyejuk jiwa yang terbelenggu
raut hati siang terluka ulah akal
semata yang suka mengadaada

pergilah siang yang penuh deraan
teka-teki dari dengki dan caci maki
bawa semua janji tak sepenuhhati

datanglah malam dalam jambangan
kuntum yasin yang mengaliri hawa
sejuk perlahandiam di lengan waktu

aku rindu suluk-suluk dalam rangkai
yasin yang menderu-deru malam ini
lalu membawa kita memuji asma-Nya

by :Zulkarnain Siregar
Kamis malam (pon 9) 2011
batas ruang tamu dan kamar depan
enam oktober duaribu sebelas

hehe..sudah biasa


by Zulkarnain Siregar on Tuesday, October 4, 2011 at 4:09pm
turunlah gas..di persimpangan
pada pertigaan trafick light
ada zebra cross
belok kiri jalan terus

nabrak...^)

lalu perhentian perempatan lampu merah
orang belakang raung klakson nyala-nyala
siapa sangka itu gejala buta warna

andai tiba di perlimaan, segera siaga kehati-hatian
sebab petaka jalang siap menjemput badan
senggol sedikit, hilang kesabaran

liarlah mata di perenaman :
ramai sangat pasang iklan di badan jalan
besar-besar hingga tak berukuran
bagai angkutan kota berseliweran
bukan kota tak rupawan, tapi aturan
tak pernah dihiraukan

Kamis, 06 Oktober 2011

raut jemari di kaca jendela

by Zulkarnain Siregar on Thursday, October 6, 2011 at 1:49am

terikmu menyapu sebagian langit

di utara ada siang menggantung

rasa penat di sendi-sendi cahaya

pantulan kaca jendela rumah kita

yang kemarin retak terbelah dua

lalu retak melebur jadi serpihan

kristal jatuh berhambur ke senta

senta. kau pungut pecahan itu

dalam diam yang merenggut luka

terus...terus..menyobek jemari

lentikmu yang gemulai di rengkuh

dusta yang berpilin dengan kata

merah menetes dari jemari hingga

segenap raga oleh pecahan kaca

jendela rumah tempat kita berdua

setiap waktu seperti tak tertunda

kesia-siaan makna oleh reka-reka

akal yang lumpuh nurani dan logika

by : Zulkarnain Siregar

senja di denpasar, 18 september 2011

hehe..sudah biasa

by Zulkarnain Siregar on Tuesday, October 4, 2011 at 12:09pm

turunlah gas..di persimpangan

pada pertigaan trafick light

ada zebra cross

belok kiri jalan terus

nabrak...^)

lalu perhentian perempatan lampu merah

orang belakang raung klakson nyala-nyala

siapa sangka itu gejala buta warna

andai tiba di perlimaan, segera siaga kehati-hatian

sebab petaka jalang siap menjemput badan

senggol sedikit, hilang kesabaran

liarlah mata di perenaman :

ramai sangat pasang iklan di badan jalan

besar-besar hingga tak berukuran

bagai angkutan kota berseliweran

bukan kota tak rupawan, tapi aturan

tak pernah dihiraukan

Rabu, 31 Agustus 2011

kembali ke fitrah

by Zulkarnain Siregar on Thursday, September 1, 2011 at 2:22am
Your changes have been saved.

renungkan fitrah alam :

pada rerumputan yang menghijaukan taman

pada pepohonan yang menjaga mata air

pada daun-daun yang tak sempat kering

oleh teriknya matahari lalu jatuh ke bumi

hilang terbang dibawa angin

pada putik bunga yang tak sempat layu

sebelum berkembang

pada tanah yang tak jadi gersang dari

hutan-hutan yang ditebang

pada laut yang biru tak lagi hitam haru biru

pada bukit-bukit yang rimbun hijau dengan dedaun

pada rindu yang tumbuh tanpa benci

pada hati yang zuhud tanpa dengki

pada cinta tulus yang hakiki

by : zulkarnain siregar

Jelang berbuka

by Zulkarnain Siregar on Tuesday, August 30, 2011 at 2:08pm

Usai sudah ramadhan

Tak pasti aku bertemu

Sua di tahun hadapan

Sebab soal itu tiada tahu?


Kuhitung-hitung kali perjumpaan

Seyogia usia di kandung badan

Jalan lurus sering tertinggalkan

Saat berbuka pada sebelas bulan


Siapa menjaga laku dan perbuatan

Pada jiwa-jiwa yang suka tertawan

Kenikmatan makan serta pakaian

Melekat di badan tanpa perasaan


Tutur kata santun menjanjikan

Tak selalu sama dengan kelakuan

Kadang pesan hilang diperjalanan

Hanya karena hasrat kekuasaan


Hati siapa tak merasa rawan

Kalau perbedaan cuma slogan

Menjaga orang kebanyakan

Lalu abailah orang sebagian


bukan demikian amanat ramadhan

Harga berbedaan cuma perkataan

Lalu berbuat membeda-bedakan

Hadir berkembang jadi pedoman

Sabtu, 27 Agustus 2011

anak-anak malam selikur

by Zulkarnain Siregar on Sunday, August 28, 2011 at 1:52am

anak-anak kampung bermain di beranda rumah

tak berpagar

kemerlap cahaya obor berpancang-pancang

tiada ubah

seperti lingkar yang memagar-magar lailatul qadar

serambi penuh lilin dan kerlip bunga api menggantung di dahan jambu

bulan terlihat lancip semburat mengerdip bintang-bintang mengintip dari

ranting pohon tua sebelah utara kampung tetangga

sesekali sayup dentuman suara meriam betung bersahut-sahutan

mengiring malam yang kian kelam ditemani rembulan nan temaram

dari kampung sebelah berbatas ladang jagung dan rumpun betung

desah suara petasan dari pecahan mesiu korek api dan pentil buah jambu

tak enggan turut ruwatan jenguk datangnya malam-malam seribu bulan

jalan-jalan setapak di ujung kampung jejali anak-anak telanjang kaki,

sambil bermain umpyang

ada yang bersenda gurau, berlari alip cendong manakala tarawih usai

riuh-rendah gembira membayang

malam-malam di ujung puasa lepas segala anak-anak pada tawa dan canda

tinggalkan lelah siang tunda makan pun minum seumpama hidup sang papa

anak-anak malam selikur ada di batas ladang jagung dan rumpun betung

by : zulkarnain siregar

kampung kuala, langkat

september 2006


jejak waktu

sahur :

melati di taman tak mengembang padahal

tadi malam ia kusiram dengan semangkuk

air sejuk

imsyak :

hilir mudik lelaki penabuh talu jaga waktu

setia berlalu,pagi hari datang tak tentu

siapa tahu ragu terus menunggu

subuh :

by Zulkarnain Siregar on Friday, August 26, 2011 at 7:48am


dingin menyelimuti jalan-jalan

gelap menggantung pagi di langit barat

riuh pedagang kaki lima kampoeng lalang

menunggu matahari timur lalu mengusung

mukjizat waktu dalam rindu berbaju baru

andai dara ada di langit kota

by Zulkarnain Siregar on Thursday, August 25, 2011 at 9:57am

terbang-terbanglah tinggi burung dara

kepakkan sayapmu di langit-langit kota

menabur asa tengah relung gelisah jiwa

dengan sejumput hati yang punya rasa

hinggap sesekali di bubungan balai kota

titip pesan silih berganti tepak meranti

beri tanda kotaku tak cuma bata-bata

penuh rimba menyesak tembok tinggi

andai sempat tanyalah mengapa kota

suka dan gemar menembok bata-bata

seperti sangkar-sangkar peri semata

rerak tak berdaya terus dilalap usia

andai dara ada di langit-langit kota

hidup bersama para pemilik sah kota

pasti terasa rupa-rupa aneka warga

bukan cuma tinggal sangkar semata

Medan 1 Juli 2011

Kamis, 18 Agustus 2011

kemana merah putih ?

by Zulkarnain Siregar on Tuesday, August 16, 2011 at 5:12am

tak kulihat lagi merah putih di lorong-lorong itu

tegak dan berkibar menghela rindu getir di bibir

pada rupa dan rasa yang menjaga setapak jiwa

walau, tinggal cibiran yang memoles luka didada

tak kudengar lagi ada senandung erkata bedil dan

selendang sutra dari radio tetangga, sayup-sayup

membakar jiwa, menjaga patria sekujur nusantara

menghalau penjajah dan penjarah ini perut negeri

malam-malam pun begitu dingin, tak lagi hirau pada

luka tanah, luka air, luka rasa, luka jiwa pada bangsa

yang menganga tinggalkan tega di lorong-lorong itu

dan tiang-tiang tegak tanpa malu pada merah putih

merah putih mati suri, jiwa-jiwa lalu dikebiri dirundung

caci maki yang tak henti-henti, seolah ini negeri tiada

mampu berdikari, menemu diri lalu jadi negeri sejati.

kemana merah putih ? telah pergi tinggalkan ini hati?

Minggu, 07 Agustus 2011

berharap cermin tak retak

by Zulkarnain Siregar on Sunday, August 7, 2011 at 4:05am

malam ini ia tiba-tiba

menggelora dalam dada

malam kedelapan puasa

bulan di atas sana tadarus

jam dinding pun kian mengecil

tergantung di sudut mimbar langgar

yang pernah hadir dalam nadi ingatan

lalu aku bersimpuh pada sajadah langit asa

di tengah tengah ruang hening para pewirid

kalamullah, ia penuh suka mendendang tajwid

hilir mudik irama lembut mengalun dari mulut-mulut

wangi kasturi para belia lalu berseru ingatkan aku ketika itu

tak sedikit rupa pun tampak mata-mata para pembaca ayat

lelap lalu terkantuk oleh hunian malam membalut symphoni

ramadhan menyanyikan raut demi raut dan meninggikan

ritus bacaan ayat ilahi lewat harum malam menyembul dari

bubungan rumah-rumah beratap rumbia dan lampu sentir

memecah gelap dari hulu ke hilir yang kian di ufuk-ufuk dini

ketika

jiwa bertanya pada diri

" maukah kemari me

negur hati yang dulu sempat membatu

lalu pergi menjauh dari-Mu?"

sebab petaka kepura-puraan

sebab bencana pengingkaran

bathin dalam bayang-bayang zahir

by : zulkarnain siregar

mengalirlah...

by Zulkarnain Siregar on Sunday, July 24, 2011 at 8:52pm

setelah kutulis rindumu dalam sajak petang

masih terbayang ada larik yang tak luput dari renta masa

bait yang kau tulis dari sajak-sajak yang tercecer dekat

dekap cinta yang tumbuh di sela-sela rumah dusta di taman

yang kerap dilanda bencana

walau kadang rindu itu sirna, kadang cuma fatamorgana

tentu isyarat rasa suka hampir menjelma di bianglala doa

siapa tak punya sukma mengelus hari-hari terbebas

dari perselingkuhan kata dan ambisi-ambisi kuasa

lalu duduk bersimpuh...

bertanya pada jiwa ?

tak bersyarat dan berisyarat petaka

by : zulkarnain siregar

Jumat, 15 Juli 2011

merantau 10

by Zulkarnain Siregar on Thursday, July 14, 2011 at 2:18pm

ma..

bulan depan kita jelang usia berpuasa

ramadhan tiba dalam dekapan rahman

isyaratkan harapan membingkai tujuan

kuingat ini kali yang kelima puluh masa

perjalanan dalam rantau tiada tahu duga

hingga kelak singgah di batas nun mana

ma....

aku rindu mengusung usia di jalan jalan

keyakinan, walau kakiku penuh lumpur,

mukaku hitam tak bercahaya, mataku

perih penuh dusta lalu tanganku kotor

oleh darah sesama yang menghunjam

lewat angka-angka angkara murka, kata

kata penuh berhala merasuk sukma aku

tak ragu datang padamu..aku lalu ingin

menyium telapak kaki, dan membasuh

muka dengan air susumu. aku ingat saat

marpangir di sungai pinangsori, dalam

rindu yang terbelenggu. ragu menyaru

kuingat dari tanah itu aku lahir, walau

penuh daki, namun kaki terus melangkah

mencari diri di rantau orang.

jalan-jalan penuh onak, entah apa aku

terus merasa asing dengan diriku,padahal

rantau tak berhingga kapan akan ke batas

rinduku pada ma...tempat benih itu ditanam

di sepetak sawah di peringgan rumah kecil warisan

dekat kampung yang berdanau biru hutan hijau

ma... izinkan aku pulang kembali ke pangkuanmu

membawa lelah rantau yang penuh daki dari kepala

hingga kaki.

by: zulkarnain siregar

12 sya'ban 1432 H

l

merantau 9

by Zulkarnain Siregar on Wednesday, July 6, 2011 at 7:39pm

hening.. malam

tak berbulan juga berbintang

aku pun berkaca mengenang

kulihat diri dalam-dalam

berulang kali berulam janji

tinggal sepotong badan

pembalut tulang-tulang

kemudian perlahan

hilang ditelan siang

sebab gemuruh debu

silang beterbangan

menjemput hidup

di paruh tantangan

lalu langkah

mengiring malam hening

jaga hati senantiasa bening

by : ZS