Selasa, 16 Oktober 2012

 
 Surat dari Ibu  (2)
 
by Lentera Bias Jingga on Wednesday, October 17, 2012 at 2:47am
setelah kau balas suratku
yang lalu itu, anakku...
kubaca satu demi satu
kalimat rindumu padaku
yang teruntai indah dalam
prosa liris , bercerita suka
dengan gembira , kau selip
kelakar  dan satir-satir  juga

kau ingatkan aku jua
ketika malam-malam tiba
telah larut kulantun nada
senandung melayu  lama
Surga di Telapak Ibunda 
melepas tidurmu di dipan
kamar tengah rumah tua
bertangga kayu  seada

di ujung suratmu
kau seperti  ingin pulang
ke kampung halaman
kau seperti  ingin datang
ke tanah kelahiran
menemu asal air dan tanah
tempat bersulang cinta
hidup ayah dan bunda
hidup leluhur dan tetua kata

anakku...
bukankah kau masih berjuang
dalam menjenguk siang
yang  penuh aral melintang
bukanlah kau masih berperang
menyerang jiwa-jiwa jalang
mengangkang di setiap simpang
biarlah siang  datang menjulang
biarlah petang terus membayang
hati tak lekang berpantang pulang
sebelum perang berakhir menang

Jumat, 12 Oktober 2012

Mawar dari Pakistan
 
by Lentera Bias Jingga on Friday, October 12, 2012 at 3:08am ·
Dari Lembah Swat
Suara itu teramat  terang, kawan
Api  dalam jiwamu tak hilang karena ancaman
Tekad membara lawan kezaliman
para lelaki sorban kaum Taliban
dan para pecandu  ayat-ayat
permusuhan

sedang usiamu masih belasan
berjuang atas nama perempuan
berjuang atas nama perdamaian
bukan atas nama kekerasan
bukan atas nama penindasan
bukan pula kebencian
bukan pula  penistaan
apalagi atas nama-nama tuhan
apalagi atas nama keagungan
lalu dengan senapan
Taliban mencari sasaran perempuan

biarlah  peluru senapan bersarang di jidat depan
hingga ke tulang-tulang punggung belakang
biarlah  peluru senapan  menyerang perempuan
hingga ke sendi-sendi perjuangan
biarlah peluru senapan menerjang harapan
hingga ke ubun-ubun pikiran dan perasaan
tetapi, suarakan lantang  perempuan
adalah ibu yang melahirkan
tetapi,  antarkan suara perempuan
adalah ibu semua perdamaian
dalam pekik Pakistan bukanlah Taliban


salam buat perjuanganmu, kawan
Malala Yousafzay
cuma satu kata " lawan " kekerasan
dengan Mawar bukan Senapan

oleh : Lentera Bias Jingga

Rabu, 10 Oktober 2012

 
 Surat dari Ibu
 
by Lentera Bias Jingga on Wednesday, October 10, 2012 at 4:13am ·
 "Anakku...
  apa kabarmu ?
  Kudengar kau telah menjadi guru.
  jauh di dusun yang tak berlampu
  Benarkah itu? "
 "Aku bahagia, bila begitu
  cita-cita itu sesungguhnya telah  layu
  cita-cita itu seperti pudar dimakan waktu."

 "Anakku...
  jangan kau ragu bila itu pilihanmu
  jangan kau ragu bila itu jalan hidupmu
  menjadi guru tidak perlu meniru-niru
  menjadi guru bukan juga karena sesuatu
  leburkan selalu  dalam darahmu
  hembuskan selalu  dalam nafasmu."

 "Anakku...
  andai kau tahu harapan ibumu
  andai kau tahu gelisah ayahmu
  kau akan datang pada anak didkmu
  kau akan hidup bersama anak didikmu
  kau akan belajar dari anak didikmu
  kau akan mulai dari apa yang mereka tahu
  jangan sampai kau menganggap paling tahu
  jangan sampai kau membuat mereka gagu
  jangan sampai hidupnya haru biru
  karena kau ulang-ulang kebodohan masa lalu."

 "Anakku...
  bergembiralah  bersama mereka
  untuk selalu menjelajah ilmu
  untuk belajar menjadi tahu
  apa sejatinya mereka mau
  bukan dengan  menggugu
  bukan dengan  menghapal buku
  bukan dengan kata-kata melulu
  lalu ilmu menjadi batu, diam seribu waktu."

 "Anakku...
  andai kau jadi jemu
  sebab anak-anak didikmu
  usah kau hardik dengan nada memburu
  usah kau sentak dengan rasa pilu
  nanti ia menjadi tahu
  nanti ia susah mengaku
  nanti ia pun  ragu-ragu
  benarkah engkau seorang guru."


  Oleh : Lentera Bias Jingga

Selasa, 09 Oktober 2012

 Pagi di Saba Jae
by Lentera Bias Jingga on Tuesday, October 9, 2012 at 8:14am ·

masih kulihat matahari
mengintip dari balik bukit
lelaki hilir mudik di jalan-jalan
perempuan mulai berbekal
hendak ke saba

air ke saba sudah mulai mereda
pematang mulai dibuka
tikus-tikus mulai dihalau ke desa
sebab sawah akan jadi tempat upacara
upacara bersyukur Somba Debata
sebelum musim hujan tiba di huta

musim panen akan tiba
padi matang telah menyua
lumbung-lumbung telah terbuka
tempat berjemur telah tersedia
parmasin pun telah ada
huta saba jae  arah Sarulla
yang ditinggal pengetua adat huta

Pagi itu masih bercerita
tentang panen yang akan tiba
padi kuning matang hampir merata
di kaki bukit sebelah utara
di kanan dolok penuh hapea
sebelumnya pohon haminjon  semua
tapi kini pohon-pohon hilang sirna
Saba Jae Losung Aek hilang di peta
budaya pohon-pohon khas di Utara



by : Lentera Bias Jingga



Catatan kaki

saba : sawah
Somba Debata : menyembah Tuhan /Bersyukur kepada Tuhan
huta : kampung
parmasin : pemilik mesin giling padi
Sarulla : Nama kecamatan di  PahaeTapanuli Utara
dolok  : bukit
hapea : pohon karet
haminjon : kemenyan
Saba Jae Losung Aek : nama kampung sebelum Simangumban Jae, Pahae Tapanuli Utara
d e r m a g a
 
 
by Lentera Bias Jingga on Friday, October 5, 2012 at 2:13pm ·
di sini
biduk pun  merapat
singgah sesaat
dari prahara samudera biru

kau petik hatiku
dari tangkai puspa
yang hampir layu
ketika gelombang samudera
merekah marah membuang sauh
biduk melaju  terus berpeluh
mencari titi tepian
dalam tak berkarang

lalu kau tanam hatimu dekat
dermaga ini tanpa nisan biru
tak lagi sebiru langit yang dulu
kau ajak aku menatap sosok pagi
tak lagi sebiru laut yang dulu
kau bawa aku mengarungi tabiat petang

memang kutahu...
dermaga ini bukan tempat berlabuh
cintaku pada langit biru
cintaku pada laut biru
tapi pelabuhan  hati  yang kian membiru,
dari lagu merdu sang penyanyi sendu


by lentera bias jingga

Jumat, 05 Oktober 2012

 
B a r t h e s   2
 
 
by Lentera Bias Jingga on Tuesday, October 2, 2012 at 9:34am ·

kuingat seperti malam ini
pernah kau tulis surat dalam sampul abu-abu
tiga puluh tahun yang lalu
sobekan kertas dari catatan sabtu
setiap rindu yang kau petik dari rasa jemu
setiap rayu yang kau tulis dari ungkapanku
setiap cumbu yang kau lukis dalam kalbu
selalu menjadi candu setiap menanti minggu

kata-kata lalu jadi mantra
menghapus rindu yang hadir begitu saja
dalam surat berbahasa yang biasa-biasa
tanpa tanda baca, tanpa jeda, juga lema
makna jadi begitu kuat terasa
makna jadi begitu mempesona
aku larut dalam suasana genitnya kata-kata
yang entah itu rasa , entah cinta, mungkin birahi juga

malam pun larut semasa
surat itu belum habis kubaca kata per kata
sebab makna tak mungkin teraba
sebab makna selalu terikat gramatika
sebab makna hilang di bayang-bayang suasana
kau tulis kata , aku tak membaca makna
kau tulis kata , aku hanya terpesona
kau tulis kata , aku memang larut dalam rasa

surat itu sarat kata-kata
indah, tapi tak  bertanda baca, jeda juga lema
tiga puluh tahun dalam hitungan masa
kata tak lagi terasa biasa-biasa
kata tak tinggal cuma pada kata
kata tak terikat apa, juga siapa
rindu semasa dari kata makna semesta


lbj