Jumat, 16 November 2012

Episode Lelaki Pejalan Kaki

                                  by Lentera Bias Jingga on Thursday, November 15, 2012 am                                   


Sebelum pukul 06.00 pagi
Kujemput kau di stasiun kereta api
yang tiba pagi ini
Pulang dari rantau seorang diri
tadi, dini hari
Setelah yang kesekian kali
Rasa tak jua sempat memenuhi janji
Ingn bersua di Taman Lili Suhery

Begitu saat kau menginjakkan kaki
di peron stasiun kereta kota ini
kuajak kau keliling menikmati pagi
dengan honda astuti
mengulang-ulang semua memori
memanggil-manggil ingatan tempo hari
di kota yang ini, kota yang pernah dipimpin oleh Syurkani
berpuluh tahun tatkala sungai Deli
mengalir jernih membelah Medan hingga Labuhan Deli

Kenangan pun datang membayang
ketika pulang menonton dari bioskop Bali
sembari menikmati sore dengan berjalan kaki
sepanjang pohon asam hingga ke jalan Jati

lain lagi cerita dari kuburan cina hingga Astanaria
pun aku takkan pernah lupa kaubawa tapisan kelapa
yang kaucuri punya ibunda
gila-gilaan untuk mencari ikan laga 

Juga kuingat-ingat kenangan manis dari Loh A Yok
ke jalan Asia , Pandu hingga Waspada
kita pernah kesasar bersepeda sampai menjelang senja

walaupun.... 
sejak kau tak lagi sekota
kita tak pernah bercerita 
surat dan berita tak pernah ada
aku pun tak tahu rimbanya dimana
kota pun hilang dari peta keadaban cinta

Dari raut keningmu dapat kubaca
ada berpuluh-puluh tanda tanya
tentang gedung-gedung tua bangunan Belanda
dari Kesawan hingga penjara Sukamulia
raib entah kemana diterjang buldozer rencana kota

Bila puluhan tahun juga, kota tak lagi biasa
rimba bata menjulang hingga angkasa
kota kehilangan makna komunikasi sesama
tak seperti polis-polis Yunani Tua
yang menjaga harkat manusia dengan pencipta

Dari rautmu masih kubaca
engkau tak lagi pernah percaya
kalau pemimpin kota hidup bersahaja
cukup bersepeda dari istana ke balaikota
bukan dalam tanya : " Ini kota ? "
"Atau sisa-sisa keadaban tak bernama."

Ada Trembesi hidup merana 
lalu hilang ditelan lampu-lampu lapangan Merdeka
pun mahoni-mahoni angan semata
kini hanya jadi nama jalan biasa
pohon asam perlahan sirna 
buta mata, buta kepala hingga nanar pandangan mata

Tanda tanya tersimpan di raut muka
"Mengapa kota jadi seperti tak tertata ?"
Tanah lapang dan tempat-tempat bersua
hampir tiada tak mengesankan avenue kota
Tegur sapa pun apa daya, sirna  di lalu lintas jalan raya
kemacetan menyisakan kekerasan di dada

matahari mulai memancar hangat di setiap sudut kota
orang-orang mulai hilir-mudik menuju kerja
lalu kita sempatkan keliling kota
mencari catatan yang hilang entah dimana

Puluhan tahun itu adalah pertanda
usia tak lagi muda, ruang bersastra
dan jalur bersepeda jadi inspirasi penyiar kota
untuk menulis epik dalam belantara kronika
di stasiun RRI Nusatara Dua jalan Bintang belakang Olimpia
ada Roman Picisan dan serial komik  di Titi Gantung sana
tempat bersejarah dan saksi hidup kota

lagi, lagi....
secuil asa kenangan Mesjid Raya
Kuil Shri Mariamman juga Gereja Khatolik Santa Maria
membuat Medan begitu beraneka

Kini, ...
Kota seperti lenyap dari sanubari warga
pekik dan jerit pagi tak lagi bersuara
sebab tembok-tembok telah tinggi ke angkasa
ruang diskusi pun telah tiada
dan para lelaki meninggalkan kota
hingga geng pencuri tak pernah jera
sesuka hati menyakiti siapa-siapa
seperti upeti terus berganti nama
terus mengusik hati sesak di dada

Tapi....
ada yang membuatku  jadi suka
lalu ingin mengulang-ulang kata
bukan kebiasaan yang bebal juga
bukan pula janji yang  tanpa fakta
adalah kisah sahabat kota yang setia
pejalan kaki...
yang sungguh bijak bestari
tidak dari cara bicara sehari-hari
tidak tentang tulisan yang berani
tidak tentang semangat memuji-muji
sebab kembara melatih jatidiri
tak ragu dalam memilih
tak berubah dalam menjaga hati
tak berganti ideologi karena tak wara-wiri

jadi hidup lebih berarti
walau waktu pasti berganti
Engkau lelaki pejalan kaki
Hidup sekali, teguh berani hati berjanji


oleh : Lentera Bias Jingga
1 Muharram 1434 H
Edisi Medan

Minggu, 04 November 2012

Surat dari Ibu    (3)
 
by Lentera Bias Jingga on Sunday, November 4, 2012 at 9:55pm ·
suratmu telah kuterima,
kemarin Pak Pos menitipkan
pada inang ni si Dame
par lapo depan rumah kita

ceritamu di rantau
sungguh buat aku bangga
setiap waktu kaulalui tanpa keluh
setiap langkah kau ayun tanpa ragu
setiap niat terucap jadi tekad
dari lelaki yang kuingat
itu adalah bapakmu
dari lelaki yang kuingat
itu adalah kekuatanmu
dari lelaki yang kuingat
itu adalah air yang membasahi
tanah kelahiranmu

anakku...
masih saja terngiang
di telinga ini ketika ayahmu
hendak pergi meninggalkanku
pergi dengan seragam serdadu
memanggul senjata
di medan laga
menjaga negara
ia menitipkan kau padaku
ia menitipkan kau pada rumah ini
ia menitipkan kau pada tanah ini
saat  dalam kandungan tua
menunggu waktu hadir ke dunia
"jadikan ia  lelaki satria,
 jujur dan sederhana.
 menghormati ibunya
 menjaga rumah ini
 dan merindukan tanah ini
 tetap merah dan putih
 walau  ia lelaki dari huta
 yang mungkin tak ada di peta !"

anakku...
jalan tetap terbuka
untuk menjaga ini rumah
tetap beraneka walau tanpa
lelaki lain yang memilih warna
entah hijau, entah biru, entah kuning

anakku...
jalan tetap tersedia
untuk menjaga ini tanah
tetap nusantara walau tanpa
lelaki lain yang mencari nama
ke pelosok-pelosok dunia
karena semata-mata jiwanya teraniaya

anakku...
jalan ada dimana-mana
untuk menjaga ini rumah tetap beraneka
untuk merindukan ini tanah tetap nusantara
bukan karena warna-warna yang cepat sirna
bukan karena warna-warna yang silau di mata
karena merah putih peta jalan berdikari saja


oleh : lentera bias jingga
refleksi 28 oktober, 10 Nopember, 25 Nopember dan 22 Desember