Jumat, 16 Desember 2011

mengukir kata

by Lentera Bias Jingga on Friday, December 16, 2011 at 6:34pm

buat : bang zatako

terus..terus..terus

mencari warta dari kegelapan fakta

di jalan-jalan yang penuh cadas

di jalan-jalan yang bergelimang culas

kadang belantara suara memekik

ke dalam rongga dada

kau menulis dalam genggaman duka

anak negeri yang meronta-ronta

di balik pesona kata yang kuasa

dari lidah-lidah yang terus bersuara

layaknya seorang juruwarta

berburu fakta lalu mengemas berita

lalu kau pergi masih dalam tugas mulia

sematkan semangat dalam dada

tentang kata yang terus membahana

jadi suara-suara pekik media

tanah ini belum terusik oleh ukiran kata

bukan karena apa-apa

terus..terus..terus

menuliskan fakta dalam kedalaman kata

tak berhingga, walau tubuh dijemput usia

pena tetap menjaga suara-suara

langit dalam kerudung senja

yang luput dari beningnya rasa

oleh : lentera bias jingga

selamat jalan buat Bang Zatako, tak ada yang sia-sia. semua kerja jadi saksi

perjalanan rasa dan duka menulis berita

kisah siang

by Lentera Bias Jingga on Friday, December 16, 2011 at 11:44am
men

kau beri setangkai bunga

mawar merah merona

bingkisan bijaksana

sebagai tanda rasa

menyinta bahasa

santun menyapa

siapa sebagai anak bangsa

mawar merona kasih semesta

mari kembali ke tanah

bumi persada

kutingkap di jemari kanan

kembang terselempang

harapan dinanti pulang

dalam kesadaran

gagasan berulang

dari masa depan

tersenyum kata

satu tujuan

Oleh : lentera bias jingga

hari ini aku sangat

terkesan dengan pemberian setangkai mawar merah hati

dari balai bahasa medan dengan program "AKU CINTA BAHASA INDONESIA"

melalui tangan kawan-kawan masa depan yang

menyulam pikiran anak-anak harapan

menyaksi malam

by Lentera Bias Jingga on Friday, December 16, 2011 at 12:34am

malam ini

kau simpan sajak pualam

yang kutulis seminggu silam

aku tersenyum diam

dalam benak tiada paham

tanya luka jadi kata

by Lentera Bias Jingga on Wednesday, December 14, 2011 at 10:43pm

lagi-lagi darah jadi tanah legenda

para jelata yang hilang dari peta

punggawa pun raja-raja berhati singa

mengapa cuma demikian kita adanya?

lagi-lagi senjata merangsek manusia

para jelata yang mesti dilindungi negara

dari pendusta yang suka bermain mata

mengapa sampai demikian kelakuan kita ?

biarkan airmata mengaliri bumi semesta

dalam bejana tembaga di ruang altar

punggawa pun raja-raja berhati singa

siapa yang ingin meminum darah saudara

dari sengketa tanah yang tak kunjung reda

tirai kemelut bangsa, mahir menyalib fakta

cuma begitukah cara-cara di ubun-ubun kita?

kemana janji terucap tiap memulai upacara

kita titah di bangku sekolah hingga sarjana

jadi apa manusia bila nyawa tak lagi berharga

ibarat bahasa tak lagi menunjukkan bangsa

biang petaka negeri warisan amuk angkara

ingkar janji dari sila ke sila yang ada di kepala

bersimaharajalela tangan-tangan penuh darah

bagaimana rupa, bila kesewenangan pilihan cara

andai mufakat tak lagi mengena untuk menjaga

siapa juga takkan tega menyimpan luka kata-kata

lalu untuk apa pula berpura-pura bukan durjana

lalu berhenti menjadi manusia bila tak dengan senjata

Minggu, 11 Desember 2011

martir

by Lentera Bias Jingga on Monday, December 12, 2011 at 2:11am

buat : sondang ht

kau lelaki gagah suarakan lapar

pada langit-langit yang mendung

penuh awan hitam, dalam hujan

air mata, darah, tanah dan api

di depan singgasana paduka

kau lukis awan hitam dalam

dada yang tegak menantang

setiap meradang, menyerang

batin yang bergolak, padam

lentera keadilan kian muram

tubuhmu termakan api idealisme

gagasan besar cita kemanusiaan

dari nalar yang tumbuh di tanah

gersang, di rumah yang dikitarii

ilalang kering kepada rerumputan

yang tak menyisakan lagi hijau

di ujung doa, kau membingkai

seluruh asa yang tertoreh pada

kitab-kitab sejarah menjadi

hujan yang membasahi tanah

di tinggal pergi orang-orang

yang lupa akan masa berulang

siapa lalu meracun isi kepala

dengan keadilan tanpa tersisa

lalu biar air mata darah diseka

di tanah gagasan cita semesta

punah begitu saja.tinggal lupa

kau lelaki gagah wujud isi kata

pada perjuangan aksi nyata

bagi orang-orang lapis bawah

terabai dari kisah romantika

para paduka dan punggawa

hingga api membakar tubuh

yang rapuh dalam cita kukuh

tanah air setegak seteguh

sampai langit runtuh

Lentera bias jingga

11 Desember 2011

selamat jalan kawan

hidup adalah jiwa-jiwa yang bergerak

kamera malam

by Lentera Bias Jingga on Saturday, December 10, 2011 at 1:23am

coba lihat ke langit

ada bulan tambun

tak berpinggang

memancar cahaya

serambi para pejalan

di sepinya terotoar

tanpa penghuni

siang kata-kata

menjadi usang

bulan tambun diurut sajak

cahaya merangkak

mengitari tubuh malam

tertimpah bebatuan

dan gemericik air

sungai kecil mengalir

pun lumut-lumut ganggang

menempal pada rerumput

dibawa hanyut jadi denyut

sepanjang waktu

aku melongok ke jendela

lelaki setengah baya

ada di depan sana

bersiul lagak

di hadapan belia

perjaka wanita tua muda

musik dimainkan badan bergoyang

dalam irama dondang melayu riang

angin datang , pohon-pohon tumbang

melihat bulan tambun berpetualang

lelaki setengah baya

tengah bertelanjang dada

di bawah sinar bulan tambun

hampir tertutup awan hitam merona

siapa terkenang bulan tambun

jatuh tepat di ujung pematang

lelaki pulang hujan pun datang

basahi gang dari jalan pulang

lelaki pencerita jurung

by Lentera Bias Jingga on Friday, December 9, 2011 at 4:18pm

petang itu tak jadi kelabu

walau tabiat desember

awan selalu membalut

langit biru pada sampan

pencari ikan di hulu-hulu

bersama lelaki pencerita

yang menyulam rindu

di ujung sungai wampu

terbayang lelaki tua

penggali pasir di atas air

merakit bubu dari bambu

bertelanjang dada menunggu waktu

lubuk di aru jelajah jurung

ikan gaharu

petang menudung langit biru

lelaki pencerita jurung terus menanti

bubu-bubu disusun di tepi

sungai wampu

langit meredup

lelaki tua bertelanjang dada

pergi ke hulu menabur bubu

di sepanjang tepian bambu

saraut batang hanyut dari hulu

jurung masuk ke bubu

gelepar rindu

melihat wampu

malam pun berlalu

ada rindu pada lelaki

pencerita jurung

di ujung bubu di tepian wampu

di sepanjang rumpun bambu

by : lentera bias jingga

buat sahabatku Aryo si perindu jurung

di metateater riau

lelaki pertigaan di ujung kegelapan

by Lentera Bias Jingga on Thursday, December 1, 2011 at 3:51am

di ujung jalan itu

di pertigaan lampu trafick light

di bawah tenda hitam legam

ia mengayuh malam membawa kelam

dengan tinggal seteguk kopi pahit

pun ampas hitam sisa tadi malam

ia menggelut dingin dan sepi

yang bercampur abu rokok

dan lumpur sepatu perempuan

tak berperawakan penjaga bulan

di sadel-sadel tua yang berdenyit

terang melantun symphony perang

taruhkan hidup tanpa tidur panjang

terjaga bersama embun menyelimuti

pinang-pinang sepanjang trotoar jalan

ternanti orang-orang singgah

dan belas yang entah bagaimana

mengulur kocek selembar demi selembar

menyeduh air hangat perawat dahaga

dari pekatnya dingin menusuk tulang

malam merangkak menjemput awan

larut membawa ngilu yang singgah perlahan

di lengan biar tak sadar mata ingin terpejam

angan melayang saku pun digerayang hilang

tinggal kertas hutang terlilit di celah malam

bersama harapan yang terbang melayang

lelaki penjaga malam hilang dalam kegelapan

by :Lentera bias jingga

seraut malam di pertigaan jalan listrik medan