Senin, 03 Desember 2012

retak...kotaku retak

by Lentera Bias Jingga on Sunday, December 2, 2012 at 1:18am ·


retak...retak...
kotaku retak
tempat berpijak
aneka puak
terkotak-kotak

retak...retak...
kotaku retak
jalan setapak
sentak menyentak
telinga memekak

retak..retak...
kotaku retak
pecah berserak
ditetak-tetak
tangan tak bijak

retak...retak...
kotaku retak
desak mendesak
selera kehendak
tiada berakhlak

retak...retak...
kotaku retak
sapa berjarak
peka tak berjejak
otak memalak

retak...retak...
kotaku retak
rumah berjerejak
anjing menyalak
adab terdepak

retak...retak...
kotaku retak
mudah ditebak
siapa yang hendak
warisan rusak

retak...retak...
kotaku retak
tanah sepetak
dilego seperak
apa tak cekak

retak...retak...
kotaku retak
tembok tinggi buat berjarak
iri dengki terus berpinak
bibit benci tanda tak kompak

retak...retak...
kotaku retak
aneka puak pernah serempak
kini hilang, lalu terkotak-kotak
hitungan hari, kapan meledak


lentera bias jingga
02 Desember 2012

di Jalan Madong Lubis

by Lentera Bias Jingga on Saturday, December 1, 2012 at 3:33am ·
kutanya Medan mau apa
ia bungkam tanpa seloka
tak bergairah menjadi kota
atau kembali dengan kredo
" Paris van Sumatera "

Lalu
Medan kota apa..?

kutanya Medan sedang apa
ia meratap, berkisah  balada
lalu bertanya, "akukah Kota?"
hujan seketika banjir melanda
bata dimana-mana resapan sirna

Lalu
Medan kota apa..?

kutanya Medan mau kemana
ia terperangah tanpa tanya
malu jiwa karena abai sejarah
kota beraneka bangsa hijrah
tanpa budaya hidup tak berkah

Lalu
Medan kota apa..?

kutanya Medan lalu bagaimana
ia mengangguk tanpa bicara
walau hanya Deli dan Babura
memutar Medan dan inti kota
mengapa Istana banjir melanda

Lalu
Medan kota apa..?

kutanya Medan dari ensiklopedia
ia bercerita kota penuh romansa
ruang terbuka ada dimana-mana
aman, nyaman jompo dan orangtua
di taman-taman dan jalan utama

Lalu
Medan kota apa..?

kutanya Medan pada Dunia
ia gugup hilang rasa percaya
ada ringroad tempat berniaga
ruko-ruko pesat dimana-mana
di  protokol iklan menyala-nyala
bukan bisnis  tak juga budaya

lalu
Medan kota apa..?

kutanya Medan untuk siapa
ia lalu berpikir agak lama
andai  kota melindungi  warga
Deli dan Babura tak jadi bencana
pejalan kaki, pesepeda  bisa gembira
sebab kota pilihan semua warga



Lentera Bias Jingga
01 Desember 2012
Perjalanan Malam Keliling Kota
mengulang cerita ketika purnama tepat di atas Kolam Raya
samping Mesjid Raya

Requiem... buat Gaza

by Lentera Bias Jingga on Tuesday, November 27, 2012 at 11:42pm ·
gerimis  tak sempat berjejak di bumi
sebab api perang membubung ke udara
sedikit ia  hinggap di pucuk menara
membakar manusia tak berdosa sepanjang gaza
jadi dupa sesembahan para pemilik senjata

malam menyisakan duka
yang entah kapan sempat sirna
setiap mata memandang curiga
telinga pun  selalu berjaga-jaga
duka lelaki kehilangan putra
nestapa perempuan dan anaknya
tanpa seonggok harapan
lara palestina  sepanjang zaman
terburai  ledakan ambisi pengakuan

lalu suara-suara  pun hilang  saja
di jalan-jalan atas nama kemanusiaan
lalu suara-suara pun tak lagi kedengaran
ketika kekejaman dibiarkan terang benderang
mengapa  gaza jadi  ladang pembantaian ?
siapakah kita yang bertuhan
tak lagi merasakan daging-daging itu tercabik
ketika ledakan tak lagi terelakkan ?
siapa kita yang berpengetahuan
lalu tega tak lagi memperdulikan
entah apa kebiadaban jadi
simbol-simbol perdamaian ?

kemana gerakan keadilan
yang berjuang di meja-meja perundingan?
kemana  pekik kawan-kawan
yang selalu mengatasnamakan hak asasi kemanusiaan?

TUHAN...
maafkan aku yang terpanggang api benci
lalu memilih milah perlawanan
maafkan aku  kehilangan urat kepedulian
tatkala bangkai  anak lelaki  jadi debu,
bergelimpangan jadi saksi malam

malam-malam bisu tak berjeda
malam  cuma menyisakan duka...
siapa kita yang hendak bersuara
ketika peluru kendali memecah telinga
maafkan diam  yang diam-diam  membiarkan
perang memanggang anak perempuan
di jalan-jalan tak berlampu penerangan
gumpal asap dalam dupa sesembahan
jadi rebutan penganjur kematian
requiem... di  gaza yang terus terluka



lentera bias jingga
lara palestina
tak tersisa oleh ketimpangan dari perlakuan ganda
atas hak-hak asasi manusia dan ambiguitas makna negara
yang dengan sengaja dicipta untuk perdagangan senjata

Dialah Jendela Dunia

by Lentera Bias Jingga on Sunday, November 25, 2012 at 2:46am ·
Dia yang menanam kata
Dari jendela ke jendela
Lalu aku mulai mengeja
Setiap kata demi kata
Dengan  membaca terbata-bata

Dia yang menanam kata
Dari jendela ke jendela
Lalu aku mulai membaca
Rangkai sepatah dua kata
Bahasa belum bertanda baca

Dia yang menanam kata
Dari jendela ke jendela
Lalu aku belajar makna
Menyusun kata demi kata
Sebelum mengenal dunia

Dia yang menanam kata
dari jendela ke jendela
lalu aku mulai bicara
dengan kuasa kosa kata
menjaja apa itu dunia

Lalu dengan...
Dia yang menanam kata
Aku mulai menulis balada
Dari jendela ke jendela
Lewat akun dunia maya

Lentera Bias Jingga
25 Nopember 2012
Penghormatan Buat Guru SD-ku
Pun  Guru Bahasa Indonesia yang mengajarkan aku mengenal dunia

kemana anak laut ?

by Lentera Bias Jingga on Thursday, November 22, 2012 at 12:09am ·
kemana anak laut
tak menyisakan kata
hilang tak berjejak
dari tepak pusaka budaya ?

kemana anak laut
tak menyisakan suara
kearifan tetua Sekak
resam sirih leluhur Bangka ?

kemana anak laut
tak menyisakan mantra
lalu tiada barang setapak
mengusung cara adab bernama ?

kemana anak laut
hilang tak mengesan makna
ungkapan kearifan puak
perangkai tradisi upacara ?


kemana anak laut
yang kaya ungkapan budaya
di tengah samudera berombak
hilang dilimbur pasang masa ?


lentera bias jingga
21 hb Nopember 2012

kabar duka satu lagi warisan budaya bahasa suku laut
di pesisir Belitung dan Bangka yang penuturnya tinggal 150 jiwa
akan punah. siapa tak menyangka bila warisan dibiar begitu saja

Jumat, 16 November 2012

Episode Lelaki Pejalan Kaki

                                  by Lentera Bias Jingga on Thursday, November 15, 2012 am                                   


Sebelum pukul 06.00 pagi
Kujemput kau di stasiun kereta api
yang tiba pagi ini
Pulang dari rantau seorang diri
tadi, dini hari
Setelah yang kesekian kali
Rasa tak jua sempat memenuhi janji
Ingn bersua di Taman Lili Suhery

Begitu saat kau menginjakkan kaki
di peron stasiun kereta kota ini
kuajak kau keliling menikmati pagi
dengan honda astuti
mengulang-ulang semua memori
memanggil-manggil ingatan tempo hari
di kota yang ini, kota yang pernah dipimpin oleh Syurkani
berpuluh tahun tatkala sungai Deli
mengalir jernih membelah Medan hingga Labuhan Deli

Kenangan pun datang membayang
ketika pulang menonton dari bioskop Bali
sembari menikmati sore dengan berjalan kaki
sepanjang pohon asam hingga ke jalan Jati

lain lagi cerita dari kuburan cina hingga Astanaria
pun aku takkan pernah lupa kaubawa tapisan kelapa
yang kaucuri punya ibunda
gila-gilaan untuk mencari ikan laga 

Juga kuingat-ingat kenangan manis dari Loh A Yok
ke jalan Asia , Pandu hingga Waspada
kita pernah kesasar bersepeda sampai menjelang senja

walaupun.... 
sejak kau tak lagi sekota
kita tak pernah bercerita 
surat dan berita tak pernah ada
aku pun tak tahu rimbanya dimana
kota pun hilang dari peta keadaban cinta

Dari raut keningmu dapat kubaca
ada berpuluh-puluh tanda tanya
tentang gedung-gedung tua bangunan Belanda
dari Kesawan hingga penjara Sukamulia
raib entah kemana diterjang buldozer rencana kota

Bila puluhan tahun juga, kota tak lagi biasa
rimba bata menjulang hingga angkasa
kota kehilangan makna komunikasi sesama
tak seperti polis-polis Yunani Tua
yang menjaga harkat manusia dengan pencipta

Dari rautmu masih kubaca
engkau tak lagi pernah percaya
kalau pemimpin kota hidup bersahaja
cukup bersepeda dari istana ke balaikota
bukan dalam tanya : " Ini kota ? "
"Atau sisa-sisa keadaban tak bernama."

Ada Trembesi hidup merana 
lalu hilang ditelan lampu-lampu lapangan Merdeka
pun mahoni-mahoni angan semata
kini hanya jadi nama jalan biasa
pohon asam perlahan sirna 
buta mata, buta kepala hingga nanar pandangan mata

Tanda tanya tersimpan di raut muka
"Mengapa kota jadi seperti tak tertata ?"
Tanah lapang dan tempat-tempat bersua
hampir tiada tak mengesankan avenue kota
Tegur sapa pun apa daya, sirna  di lalu lintas jalan raya
kemacetan menyisakan kekerasan di dada

matahari mulai memancar hangat di setiap sudut kota
orang-orang mulai hilir-mudik menuju kerja
lalu kita sempatkan keliling kota
mencari catatan yang hilang entah dimana

Puluhan tahun itu adalah pertanda
usia tak lagi muda, ruang bersastra
dan jalur bersepeda jadi inspirasi penyiar kota
untuk menulis epik dalam belantara kronika
di stasiun RRI Nusatara Dua jalan Bintang belakang Olimpia
ada Roman Picisan dan serial komik  di Titi Gantung sana
tempat bersejarah dan saksi hidup kota

lagi, lagi....
secuil asa kenangan Mesjid Raya
Kuil Shri Mariamman juga Gereja Khatolik Santa Maria
membuat Medan begitu beraneka

Kini, ...
Kota seperti lenyap dari sanubari warga
pekik dan jerit pagi tak lagi bersuara
sebab tembok-tembok telah tinggi ke angkasa
ruang diskusi pun telah tiada
dan para lelaki meninggalkan kota
hingga geng pencuri tak pernah jera
sesuka hati menyakiti siapa-siapa
seperti upeti terus berganti nama
terus mengusik hati sesak di dada

Tapi....
ada yang membuatku  jadi suka
lalu ingin mengulang-ulang kata
bukan kebiasaan yang bebal juga
bukan pula janji yang  tanpa fakta
adalah kisah sahabat kota yang setia
pejalan kaki...
yang sungguh bijak bestari
tidak dari cara bicara sehari-hari
tidak tentang tulisan yang berani
tidak tentang semangat memuji-muji
sebab kembara melatih jatidiri
tak ragu dalam memilih
tak berubah dalam menjaga hati
tak berganti ideologi karena tak wara-wiri

jadi hidup lebih berarti
walau waktu pasti berganti
Engkau lelaki pejalan kaki
Hidup sekali, teguh berani hati berjanji


oleh : Lentera Bias Jingga
1 Muharram 1434 H
Edisi Medan

Minggu, 04 November 2012

Surat dari Ibu    (3)
 
by Lentera Bias Jingga on Sunday, November 4, 2012 at 9:55pm ·
suratmu telah kuterima,
kemarin Pak Pos menitipkan
pada inang ni si Dame
par lapo depan rumah kita

ceritamu di rantau
sungguh buat aku bangga
setiap waktu kaulalui tanpa keluh
setiap langkah kau ayun tanpa ragu
setiap niat terucap jadi tekad
dari lelaki yang kuingat
itu adalah bapakmu
dari lelaki yang kuingat
itu adalah kekuatanmu
dari lelaki yang kuingat
itu adalah air yang membasahi
tanah kelahiranmu

anakku...
masih saja terngiang
di telinga ini ketika ayahmu
hendak pergi meninggalkanku
pergi dengan seragam serdadu
memanggul senjata
di medan laga
menjaga negara
ia menitipkan kau padaku
ia menitipkan kau pada rumah ini
ia menitipkan kau pada tanah ini
saat  dalam kandungan tua
menunggu waktu hadir ke dunia
"jadikan ia  lelaki satria,
 jujur dan sederhana.
 menghormati ibunya
 menjaga rumah ini
 dan merindukan tanah ini
 tetap merah dan putih
 walau  ia lelaki dari huta
 yang mungkin tak ada di peta !"

anakku...
jalan tetap terbuka
untuk menjaga ini rumah
tetap beraneka walau tanpa
lelaki lain yang memilih warna
entah hijau, entah biru, entah kuning

anakku...
jalan tetap tersedia
untuk menjaga ini tanah
tetap nusantara walau tanpa
lelaki lain yang mencari nama
ke pelosok-pelosok dunia
karena semata-mata jiwanya teraniaya

anakku...
jalan ada dimana-mana
untuk menjaga ini rumah tetap beraneka
untuk merindukan ini tanah tetap nusantara
bukan karena warna-warna yang cepat sirna
bukan karena warna-warna yang silau di mata
karena merah putih peta jalan berdikari saja


oleh : lentera bias jingga
refleksi 28 oktober, 10 Nopember, 25 Nopember dan 22 Desember

Selasa, 16 Oktober 2012

 
 Surat dari Ibu  (2)
 
by Lentera Bias Jingga on Wednesday, October 17, 2012 at 2:47am
setelah kau balas suratku
yang lalu itu, anakku...
kubaca satu demi satu
kalimat rindumu padaku
yang teruntai indah dalam
prosa liris , bercerita suka
dengan gembira , kau selip
kelakar  dan satir-satir  juga

kau ingatkan aku jua
ketika malam-malam tiba
telah larut kulantun nada
senandung melayu  lama
Surga di Telapak Ibunda 
melepas tidurmu di dipan
kamar tengah rumah tua
bertangga kayu  seada

di ujung suratmu
kau seperti  ingin pulang
ke kampung halaman
kau seperti  ingin datang
ke tanah kelahiran
menemu asal air dan tanah
tempat bersulang cinta
hidup ayah dan bunda
hidup leluhur dan tetua kata

anakku...
bukankah kau masih berjuang
dalam menjenguk siang
yang  penuh aral melintang
bukanlah kau masih berperang
menyerang jiwa-jiwa jalang
mengangkang di setiap simpang
biarlah siang  datang menjulang
biarlah petang terus membayang
hati tak lekang berpantang pulang
sebelum perang berakhir menang

Jumat, 12 Oktober 2012

Mawar dari Pakistan
 
by Lentera Bias Jingga on Friday, October 12, 2012 at 3:08am ·
Dari Lembah Swat
Suara itu teramat  terang, kawan
Api  dalam jiwamu tak hilang karena ancaman
Tekad membara lawan kezaliman
para lelaki sorban kaum Taliban
dan para pecandu  ayat-ayat
permusuhan

sedang usiamu masih belasan
berjuang atas nama perempuan
berjuang atas nama perdamaian
bukan atas nama kekerasan
bukan atas nama penindasan
bukan pula kebencian
bukan pula  penistaan
apalagi atas nama-nama tuhan
apalagi atas nama keagungan
lalu dengan senapan
Taliban mencari sasaran perempuan

biarlah  peluru senapan bersarang di jidat depan
hingga ke tulang-tulang punggung belakang
biarlah  peluru senapan  menyerang perempuan
hingga ke sendi-sendi perjuangan
biarlah peluru senapan menerjang harapan
hingga ke ubun-ubun pikiran dan perasaan
tetapi, suarakan lantang  perempuan
adalah ibu yang melahirkan
tetapi,  antarkan suara perempuan
adalah ibu semua perdamaian
dalam pekik Pakistan bukanlah Taliban


salam buat perjuanganmu, kawan
Malala Yousafzay
cuma satu kata " lawan " kekerasan
dengan Mawar bukan Senapan

oleh : Lentera Bias Jingga

Rabu, 10 Oktober 2012

 
 Surat dari Ibu
 
by Lentera Bias Jingga on Wednesday, October 10, 2012 at 4:13am ·
 "Anakku...
  apa kabarmu ?
  Kudengar kau telah menjadi guru.
  jauh di dusun yang tak berlampu
  Benarkah itu? "
 "Aku bahagia, bila begitu
  cita-cita itu sesungguhnya telah  layu
  cita-cita itu seperti pudar dimakan waktu."

 "Anakku...
  jangan kau ragu bila itu pilihanmu
  jangan kau ragu bila itu jalan hidupmu
  menjadi guru tidak perlu meniru-niru
  menjadi guru bukan juga karena sesuatu
  leburkan selalu  dalam darahmu
  hembuskan selalu  dalam nafasmu."

 "Anakku...
  andai kau tahu harapan ibumu
  andai kau tahu gelisah ayahmu
  kau akan datang pada anak didkmu
  kau akan hidup bersama anak didikmu
  kau akan belajar dari anak didikmu
  kau akan mulai dari apa yang mereka tahu
  jangan sampai kau menganggap paling tahu
  jangan sampai kau membuat mereka gagu
  jangan sampai hidupnya haru biru
  karena kau ulang-ulang kebodohan masa lalu."

 "Anakku...
  bergembiralah  bersama mereka
  untuk selalu menjelajah ilmu
  untuk belajar menjadi tahu
  apa sejatinya mereka mau
  bukan dengan  menggugu
  bukan dengan  menghapal buku
  bukan dengan kata-kata melulu
  lalu ilmu menjadi batu, diam seribu waktu."

 "Anakku...
  andai kau jadi jemu
  sebab anak-anak didikmu
  usah kau hardik dengan nada memburu
  usah kau sentak dengan rasa pilu
  nanti ia menjadi tahu
  nanti ia susah mengaku
  nanti ia pun  ragu-ragu
  benarkah engkau seorang guru."


  Oleh : Lentera Bias Jingga

Selasa, 09 Oktober 2012

 Pagi di Saba Jae
by Lentera Bias Jingga on Tuesday, October 9, 2012 at 8:14am ·

masih kulihat matahari
mengintip dari balik bukit
lelaki hilir mudik di jalan-jalan
perempuan mulai berbekal
hendak ke saba

air ke saba sudah mulai mereda
pematang mulai dibuka
tikus-tikus mulai dihalau ke desa
sebab sawah akan jadi tempat upacara
upacara bersyukur Somba Debata
sebelum musim hujan tiba di huta

musim panen akan tiba
padi matang telah menyua
lumbung-lumbung telah terbuka
tempat berjemur telah tersedia
parmasin pun telah ada
huta saba jae  arah Sarulla
yang ditinggal pengetua adat huta

Pagi itu masih bercerita
tentang panen yang akan tiba
padi kuning matang hampir merata
di kaki bukit sebelah utara
di kanan dolok penuh hapea
sebelumnya pohon haminjon  semua
tapi kini pohon-pohon hilang sirna
Saba Jae Losung Aek hilang di peta
budaya pohon-pohon khas di Utara



by : Lentera Bias Jingga



Catatan kaki

saba : sawah
Somba Debata : menyembah Tuhan /Bersyukur kepada Tuhan
huta : kampung
parmasin : pemilik mesin giling padi
Sarulla : Nama kecamatan di  PahaeTapanuli Utara
dolok  : bukit
hapea : pohon karet
haminjon : kemenyan
Saba Jae Losung Aek : nama kampung sebelum Simangumban Jae, Pahae Tapanuli Utara
d e r m a g a
 
 
by Lentera Bias Jingga on Friday, October 5, 2012 at 2:13pm ·
di sini
biduk pun  merapat
singgah sesaat
dari prahara samudera biru

kau petik hatiku
dari tangkai puspa
yang hampir layu
ketika gelombang samudera
merekah marah membuang sauh
biduk melaju  terus berpeluh
mencari titi tepian
dalam tak berkarang

lalu kau tanam hatimu dekat
dermaga ini tanpa nisan biru
tak lagi sebiru langit yang dulu
kau ajak aku menatap sosok pagi
tak lagi sebiru laut yang dulu
kau bawa aku mengarungi tabiat petang

memang kutahu...
dermaga ini bukan tempat berlabuh
cintaku pada langit biru
cintaku pada laut biru
tapi pelabuhan  hati  yang kian membiru,
dari lagu merdu sang penyanyi sendu


by lentera bias jingga

Jumat, 05 Oktober 2012

 
B a r t h e s   2
 
 
by Lentera Bias Jingga on Tuesday, October 2, 2012 at 9:34am ·

kuingat seperti malam ini
pernah kau tulis surat dalam sampul abu-abu
tiga puluh tahun yang lalu
sobekan kertas dari catatan sabtu
setiap rindu yang kau petik dari rasa jemu
setiap rayu yang kau tulis dari ungkapanku
setiap cumbu yang kau lukis dalam kalbu
selalu menjadi candu setiap menanti minggu

kata-kata lalu jadi mantra
menghapus rindu yang hadir begitu saja
dalam surat berbahasa yang biasa-biasa
tanpa tanda baca, tanpa jeda, juga lema
makna jadi begitu kuat terasa
makna jadi begitu mempesona
aku larut dalam suasana genitnya kata-kata
yang entah itu rasa , entah cinta, mungkin birahi juga

malam pun larut semasa
surat itu belum habis kubaca kata per kata
sebab makna tak mungkin teraba
sebab makna selalu terikat gramatika
sebab makna hilang di bayang-bayang suasana
kau tulis kata , aku tak membaca makna
kau tulis kata , aku hanya terpesona
kau tulis kata , aku memang larut dalam rasa

surat itu sarat kata-kata
indah, tapi tak  bertanda baca, jeda juga lema
tiga puluh tahun dalam hitungan masa
kata tak lagi terasa biasa-biasa
kata tak tinggal cuma pada kata
kata tak terikat apa, juga siapa
rindu semasa dari kata makna semesta


lbj

Jumat, 28 September 2012

anak jermal 3

esok...
kaulah saksi sejarah
hidup tak pernah punya pilihan
hidup tak pernah  jadi harapan
bukan angan-angan kebanyakan
tapi..
akan tetapi..
pertarungan menunda kematian


oleh : lentera bias jingga
28 September 2012
terinspirasi dari
kehidupan anak jermal
anak Jermal 2


usia tak cukup  belasan
kau terbuang dari kasih sayang
ibu yang melahirkan dengan ratapan
kemelaratan melingkar-lingkar nasib
tak berkesudahan

bangku sekolah tak jadi harapan
teman-teman tinggal di kampung halaman
hidup lalu berangsur jadi beban
memalak tak pula pilihan


oleh : lentera bias jingga
28 September 2012
Anak Jermal  (1)


by Lentera Bias Jingga on Friday, September 28, 2012 at 3:50pm ·

bocah  di tiang-tiang pancang

hidup tak berkesempatan

tinggalkan masa kekanakan

pergi mencari kehidupan

hitam dipanggang siang

dan ganasnya ombak

malam
 
 
Trah Malam

by Lentera Bias Jingga on Monday, September 24, 2012 at 11.19pm

ada bulan
ketika gerimis datang
malam bergurau  pada  bintang
bulan tersipu malu di atas pematang
...........................................
mengapa gerimis tak bilang-bilang?
ketika malam hendak melangkah  pulang

lalu bulan pergi menghilang
awan hitam jelang-menjelang
mengurung malam dalam bimbang

gerimis hilang hujan pun datang

Minggu, 23 September 2012

 
 Rasta...rasta...rasta...
 
by Lentera Bias Jingga on Thursday, September 23, 2012 at 5:12pm

rasta...rasta...rasta...

nyanyian dusta ada dimana-mana
langit setengah hitam, murka cakrawala
kota-kota lengang, lenyap dalam ruang-ruang ilusi
matahari  pun enggan melukis pelangi
setelah gerimis titis,  lelaki berdiam di ketiak istri
membakar diri bukan dalam api revolusi
membakar diri bukan dalam militansi
membakar diri bukan untuk tanah ini negeri
lalu mengganti kelamin jadi banci dan doyan memaki-maki
tanah ini negeri tanpa wara wiri

rasta..rasta..rasta ...

siapa lagi menghirup pagi di jalan-jalan sepi
siapa tadi  membuat janji ini negeri  tanpa politisasi dan korupsi
siapa lelaki  bernyali merampas kembali
tanah ini negeri dari tangan pencuri berdasi
pejalan kaki, pengemis suami istri, pemulung atau lelaki banci
yang datang dari perut bumi setelah tsunami?


rasta...rasta...rasta...

kota telah mati,  intelektual  pun tak lagi kembali
kampus-kampus sepi diskusi , tampang selebriti 
tawuran sana sini , ikon university for industry
diktat, toserba  fotokopi dan janji-janji para penguji
 kota tak lagi disinggahi  sinar matahari
lelaki dan perempuan kehilangan cahaya pagi
kehilangan janji-janji dari lelaki yang tegak berdiri
di setiap halte jalan-jalan sepi

lbj

Jumat, 21 September 2012


Elegi terus Menari

malam seribu hari
gus dur telah pergi, tapi ini negeri
terus menyimpan elegi hingga tragedi
yang tak ingin henti-henti.

malam seribu hari
gus dur telah pergi, tapi ini negeri
masih diliputi misteri, kepala-kepala negeri
seperti tak perduli, rakyat dibiar berkelahi

malam seribu hari
gus dur telah pergi, tapi ini negeri
masih diteror orang-orang tak bernyali
ajar berani mati cuma karena sakit hati

malam seribu hari
gus dur telah pergi, tapi ini negeri
hampir tak berarti buat tumbuh nyali berhati
yang menulis puisi lagi  dan menanam melati

malam seribu hari
gus dur telah pergi, tapi ini negeri
dibiarkan mati suri, warna-warni suram kembali, 
jadi api dalam hati, demokrasi janji-janji isi pundi

malam seribu hari
gus dur telah pergi, tapi ini negeri jalan-jalan penuh duri.
lorong-lorong gelap sekali, kanan kiri bahaya terus menanti
negeri gemah ripah loh jinawi, tinggal dicatatan sastra kawi

Rabu, 19 September 2012


bunga selasih sedap dipandang
di tanam orang tegak berjenjang
jangan berjanji bila tiada datang
adab pantang kawan pun kurang

Senin, 17 September 2012

 
 
 
B i z a n t i u m  2
 
by Lentera Bias Jingga on Monday, September 17, 2012 at 3:55pm ·
kelopak bunga perdu dalam vas di etalase
depan toko emperan seberang jalan
menuju ke trotoar perempatan kota lama

di sana...
ada lelaki yang menghitung setiap jejak kaki
yang  selalu menempel dari anak tangga satu ke lain
pada jembatan lintas jalan

perempuan berjilbab
datang dari sana menyediakan buah anggur
dari kebun di stepa pada musim semi
dan lelaki yang bekerja di ladang-ladang gandum

masa panen pun tiba,
pasar-pasar ramai hingga malam
lelaki berpestaria dengan anggur
tak satu perempuan melantung tembang
menjamu syukur dalam rasa cita
sepanjang jalan-jalan terbuka

biar pun siang perempuan lalu memetik perdu
dari vas buram liris magenta di taman kota
serta lelaki di trotoar menghitung jejak kaki
yang menempel di jembatan lintas jalan
barangkali tak hilang walau musim panas tiba

lbj

Jumat, 14 September 2012

 
 
 B i z a n t i u m   1
 
 
by Lentera Bias Jingga on Saturday, September 15, 2012 at 3:14am ·


adalahtanah

seorang lelaki

H e r a k l i u s

yang melebur emas,  perak

menjadi uang untuk perang



sebab,

perang ...

adalah keyakinan

dan jalan kebenaran

meracun "air kehidupan"


By : Lentera Bias Jingga
 Barangkali ..
 (sebuah perjalanan imajiner)
by Lentera Bias Jingga on Friday, September 14, 2012 at 12:11am

barangkali ,  tanpa Tigris dan Efrat
 lampu aladin tak akan punya cerita
hikayat tanah rawa gelagah dan paya
sepanjang semenanjung  persia

barangkali , tanpa Tigris dan Efrat
Dur-Sharukin, Niniwe dan Babilonia
tak jadi kota-kota kuno Mesopotamia
tanah peradaban anak manusia
akar kecendekiaan bangsa- Sumeria

barangkali ,  tanpa Tigris dan Efrat
kota tak pernah ada dalam catatan
seribu satu malam orang-orang Assiria
hidup tanpa kota seperti zaman nekara

barangkali ,  tanpa Tigris dan Efrat
Mesopatamia entah ada dimana
ditelan dusta-dusta  pemilik kuasa
sejarah tanpa nama yang hilang
ditelan nafsu serakah manusia

barangkali , tanpa Tigris dan Efrat
kota-kota hilang warna pun tabiat
gedung menjulang rakyat melarat
Baghdad runtuh  sejarah  sekarat
tangan-tangan culas lalu berkhianat


by : lentera bias jingga
       terkenang lampu aladin

Rabu, 12 September 2012

 I  m  a  j  i
by Lentera Bias Jingga on Tuesday, September 11, 2012 at 11:45pm ·

ingin kutulis malam
tanpa rembulan
tanpa perempuan
di atas kertas buram
dekat gordin jendela depan

kubiarkan imaji melayang
menemu bayang-bayang
yang sempat hilang
tentang siapa malam
tanpa rembulan
tanpa perempuan

lalu tangan meraih kalam
menulis angan-angan
memeluk harapan
tentang malam-malam
tanpa rembulan
tanpa perempuan

namun... malam oh
cuma sampai di tuliskan
hanya hadir dalam bayangan
di atas kertas-kertas buram
dekat gordin jendela depan

ini lukisan kisah malam
kulipat-lipat jadi sampan
biar  harapan dan tulisan
hanyut ke tengah lautan
tanpa rembulan
tanpa perempuan


by : lentera bias jingga
selamat malam rembulan

Sabtu, 01 September 2012

hujan

seperti kristal memantul
di setiap sisi jendela pagi
ada senyum mengembang
dari dalam ruang
 
aku melongok rindu
daun-daun jambu beranda
depan rumah hijau abu-abu
kuyub berpeluk mesra

hujan menyimpan duka
hari-hari yang berlari
risau  kemarau hati 
pergi jadi mimpi


lentera bias jingga
 

melarut..melaut

malam....
sepertinya ingin larut
ke peraduan

biarlah....
hening hinggap
di tubuh rasa

membawa sukma
melayang entah kemana


sekejap lagi
ia datang tak dengan janji
tetapi hati yang membuat
semua jadi rindu menanti
 
 
lentera bias jingga
 
dawai kita berdua
 
 
by Lentera Bias Jingga on Thursday, August 16, 2012 at 8:48am ·
ma...
malam ini kupetikkan senar dawai
mengiring syair lagu kita berdua
di bawah rindang flamboyan burai
di taman tempat kita selalu bersua

masih kau ingat kenangan itu,
dua puluh tiga tahun yang lalu
lomba cipta prambors rasisonia
selalu diputar di radio siaran kota
dari anda untuk anda,usai warta

ma...
malam ini kita mengulang cerita,
dengan syair-syair yang berbeda
dan petikan dawai nan mempesona
seirama dalam suasana hati ceria

malam seakan menari di selasar kota
penuh cahaya kembang api merona
turut bersuka sambut limapuluh dua
usia tua namun jiwa berkesan muda
isyarat cinta tak punah ditelan masa

ma...
izinkan aku bersujud di atas sajadah
bersyukur pada Tuhan Maha Kuasa
sebab kau tunaikan diri jadi bunda
yang mulia pada anak kita berdua
jalan hidup terbuka nan bersahaja

oleh : lentera bias jingga
buat : bunda dari kedua-dua anakku yang berulang tahun ke-52
          dan tanah air tercinta Indonesia yang berulang tahun ke-67
          semoga Tuhan terus menjaga jiwa-jiwa yang mulia
 
 merah putih fitri
 
 
by Lentera Bias Jingga on Monday, August 13, 2012 at 3:55pm ·
biar ke sana-sini
kembara dari pagi
sianghari jadi koeli
petang pun kembali
esok mengulang lagi
ya.. itulah berkali-kali
lamat-lamat jadi janji
orang senang berdasi
ingin buat ini negeri
tanpa upeti,tanpa komisi
walau janji hanya janji
negeri ini bebas korupsi
negeri adil, manusiawi
tapi hati jangan sangsi
merah putih tetap fitri


oleh lentera bias jingga
menyambut usia ke-67 merah putih mengawal bulan fitri  tetap turut berpartisipasi untuk ini negeri
 
 T o p e n g
 
by Lentera Bias Jingga on Tuesday, August 21, 2012 at 9:20am ·
topeng ada dimana ?
ada dimana-mana
ada di rumah-rumah
ada di kantor-kantor
ada di perkumpulan
ada di acara-acara
ada di sekolah-sekolah
ada di jalan-jalan
ada di taman-taman
ada di dalam tulisan
ada di ruang pagelaran
di unit gawat darurat
topeng itu wujud maya
tak wajah sesungguhnya


pasanglah topeng
biar di rumah-rumah
biar di kantor-kantor
biar di perkumpulan
biar di acara-acara
biar di sekolah-sekolah
biar di jalan-jalan
biar di taman-taman
biar di dalam tulisan
biar di ruang pagelaran
biar di unit gawat darurat
muka-muka jadi dasamuka
bak musang berbulu domba


lentera bias jingga
terinspirasi dari profil seorang teman