Senin, 22 April 2013

p u n

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Tuesday, April 23, 2013 at 12:42am
pun malam telentang
sepanjang jalan

langit merah
tak pernah lekang

cahaya rembulan
temaram di balik gaun awan

lelaki tak berparas
keras menyabit sangkur di trotoar

menikam pada langit
yang diam di atas tiang-tiang keangkuhan

pun malam semakin berang
jalan-jalan lengang

bintang kemerlap
seperti ingin pulang

perempuan dengan dahi birat
menghunus pedang

merobek-robek mulut malam
yang mengumbar kemiskinan tanpa kesungguhan

hanyut ke laut tanpa  turut
di bawa ombak yang berpasangsurut

pun apa yang ingin dipuisikan
bila kata-kata telah hilang dari makna jeda



lentera bias jingga
menerang pesan yang terjaga

secuil angan

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Thursday, April 18, 2013 at 8:57am
bolehkah aku
berangan-angan..?

kotaku sejuk dan nyaman
pengguna jalan setia sekawan
tak menyalib tiba-tiba di tengah jalan

bolehkah aku
berangan-angan..?

kotaku bersih dan selalu aman
tak ada pencuri sembunyi atau terang-terangan
sampah tak dibuang sembarang  dari kenderaan

bolehkan aku
berangan-angan..?

kotaku tersedia kran-kran
airnya bisa diminum para pejalan
lampunya terang di setiap sudut kawasan

bolehkan aku
berangan-angan..?

kotaku tetaplah kota medan
dari dulu hingga kapan-kapan
warisan kota dan budaya tak hilang ditelan zaman


lentera bias jingga
medan, 18 april 2013

pu_isi kampus

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Thursday, April 11, 2013 at 1:04am


(   )...............
................?

barangkali puisi ini
tak pernah jadi


sebab,....

aku tak ingin
menenun rasa
dari ironi yang berulang kali

sebab,....

aku tak ingin
menyulam luka
jadi elegi yang lahir dari janji

biarlah janji
terus bersemi
jadi mahoni di kampus kaum selebriti

biarlah janji
terus menarinari
jadi streptease di mimbar akademi

buku-buku tak lagi berarti
gagasan tak bergulir dalam diskusi
diiring lagu tangis krisis ini negeri

seumpama  langit
yang tak ingin mengirim pelangi
esok pagi

..................
...................... (   )


lentera bias jingga
padangbulan, 10 april 2013

bangau pagi

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Sunday, April 14, 2013 at 10:54pm
walau kepak-kepakmu
terbang rendah
sebatas dada

aku ingin menari
bersamamu bangau
di atas sepedaku
yang mengejar embun pagi

di ladang tebu ini
kita bercumbu ke sekian kali
seperti kekasih
yang lama telah dinanti



lentera bias jingga
hamparan ladang tebu payabakung
pagi minggu 14 April 2013

Minggu, 07 April 2013

T e l e

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Monday, April 8, 2013 at 11:36am


kalaulah aku harus mati
biarlah matahari yang membakar
sekujur tubuhku
biarkan kering, hangus
dan hitam membirat
bukan karena keserakahan
bukan juga ketakberdayaan

kalaulah aku harus mati
biarlah izin datu-datu menyertainya
batu-batu menjadi nisan di sepanjang samosir
lagu kematian mengiringi setiap jiwa
bukan karena mesin-mesin keculasan
dari tangan-tangan perampas kehidupan

kalaulah aku harus mati
mengapa marga-marga tak ingin menjaga
bencana apa yang datang dimuka
hikayat toba di pusat tele yang semesta
sesaat tak akan hilang di meja kuasa
bila serakah dan takberdaya bukan gejala di toba

kalauah aku harus mati
inilah kematian di penghujung legenda toba
yang tak mungkin diriwayatkan oleh para pujangga
sebab air mata siapa yang tak mengalir bila tele bercerita
hidup selalu sia-sia, mati lalu menyiapkan bencana








zi_arah

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Saturday, April 6, 2013 at 11:50pm
aku larut
dalamkedalaman
laut kata-kata

aku gila
dengan bayangbayang
samudera makna

kutambat  biduk
pada dermaga, tak perduli apa
ungkapan kata, frasa atau klausa

aku berlari
mengejar fatamorgana
yang terluka karena gramatika

menikam ubunubun jingga
yang pecah ditetak belati cahaya
larut dan gila cuma  akademia kata-kata

dalamkedalaman,
laut katakata, bahasa pun
luput dari karangkarang tanda

hingga  biduk pun  pecah
langit terbelahbelah
di dermaga ini, akulah trah


oleh : lentera bias jingga
         katarsis, larut yang membawaku ke 07 hb april doeariboetigabelas

bukan janji

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Friday, April 5, 2013 at 2:11pm



ia pun berhenti dan mati

dari perjalanan tak bertepi


tak ada lagi risau keluh

tak ada lagi tetes peluh


sebab jiwa telah pergi

sebab hati  telah berjanji


waktu hanya menundanunda

apa hidup masih bermakna


jejak-jejak kaki cuma saksi

tuah badan mungkin berarti


siapa sesungguh pemilik janji

lalu datang tak pernah dinanti


lentera bias jingga
5 hbaprildoeariboetigabls

Jumat, 05 April 2013

".., Din ! "


hujan malam ini
takkan kuceritakan padamu
yang sedang menyendiri
di seberang sana

biarlah dia larut
dengan segala karut
biarlah dia luput
membasahi rumput
gelegar guntur menyurut
batu-batu hijau berlumut

entah nanti setelah reda
ada jendela yang terbuka
masih sempat bertukar kata
atau raga yang merindu sua

mungkin pucuk dicinta ulam tiba

oleh : lentera bias jingga
 ini malam 30 thn lalu


seperti malam ini juga. di ujung gang itu, rumah papan berlantai tanah, 
tak ada bangku dan meja di ruang tamu. cuma dipan beralaskan tikar pandan, 
dengan cahaya petromax. ditemani sebungkus kansas , tiga gelas kopi, 
dan ubi kayu rebus terasa bahagianya 
ada kawan-kawan dari radio USU, radio Pasopati dan Radio Citra Buana menikmati
malam bersama Butir-butir Pasir di Laut (sandiwara radio) dari RRI Nusantara 1 Medan. 
Sayang hari-hari ini sudah tak mengudara lagi  sandiwara radio itu, kemana ya...?
 doa sebelum makan


pergilah ke meja makan, 

siapkan sepiring nasi, 


sebelum makan doakan agar sawah-sawah dan ladang tak jadi ruko 
dan gudang-gudang, 

petani jadi pencuri dan uang-uang tak lagi dapat ditukar dengan nasi
 pabila


00.00 wib,
izinkan aku menjemput waktu barang sejenak.
menghirup hawa geraknya. mungkin embun dini hari ingin menyelimuti rerumputan. ada yang hinggap di kelopak kembang sepatu. bilur dan bening. ada yang berpeluk pada ranting jambu. 

namun sempat aku merasakan tubuh itu  menetes di dahi.
biarlah waktu terus merambat. menoreh tanda pada ruang dan nama. lalu hilang begitu saja,
tanpa cerita tanpa umpama. demi masa

lupa kacang pada kulitnya

usai sudah turun dari menara gading, 
katak tak hendak menjadi lembu, semut tak lagi beriring sejalan, ilalang tak berharap dihinggap belalang. betapa girang dan malang, sumur di ladang tinggal di kenang-kenang. kampung di seberang digadang-gadang, tanah kandung digadai pada orang

12.30 di kotaku

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Wednesday, March 6, 2013 at 1:24pm
12.30
langit medan lembab
panas menyeruak pori-pori dan
keringat  kota menggenang di arteri utama
asap-asap knalpot cemari udara
lalu lintas pas pas amat  terbatas
roda dua dan empat sikut menyalib
kota kehilangan adab berjalan
trafikc light sudah tak ada di kepala

12.30
rambu-rambu sudah tak berguna
trotoar tak lagi berbeda
pejalan kaki harus terus waspada
sekali-kali celingak-celinguk mata terbuka
kalau silap, dompet, tas lenyap ditelap
sebab orang-orang hampir kalap
pemimpinnya tak cepat tanggap
kota tak tertib hampir setiap saat

12.30
lubang-lubang jalan menganga
waspada kereta bila tak berkunci ganda
sebab jebakan ada dimana-mana
di jalan lubang menganga dan sepi terbuka
entah kapan kota nyaman buat warga
kota seperti buta tak bermata
kota seperti tuli tak bertelinga
mungkin berhati singa bertubuh drakula

medan, 6 maret 2013, pkl.12.30
lentera bias jingga

hikayat pejalan

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Sunday, March 17, 2013 at 7:58pm
ia tetas dari tetes hujan
yang memecah awan
langit yang berselendang
tiga warna

membasahi bumi
tumbuhkan pepohon
dan berpinak hewan
dalam garis lurus, lengkung
membentang ruang

dari bukit-bukit tua
kawah letusan gunung toba
ia bercerita tentang suara-suara
sepi yang membentuk kata
sepi yang mengalirkan makna
sepi yang meruwat pora-pora
sepi pula yang menumbuhkan hariara

ia tetas dari tetes hujan
yang dibawa angin dari tenggara
langit cuma tiga warna
ketika awan memecah membasah rura

dari batu-batu tua
ia menulis cerita tentang toba
dalam lak-lak beraksara
doa-doa, kerja dan ajaran setia
yakin pada waktu, dosa dan usia

dari ornamen di rumah bersama
ia melukis makna tanda-tanda hewan
dan warna-warna pilihan tiga warna
alam yang meriwayatkan asal usul kata


dari bahtera yang melarung danau
ia menghitung waktu dengan memutar
sepi yang melahirkan huta
sepi yang melahirkan marga
sepi yang menabuhkan suara-suara
dalam gondang, hasapi, sulim dan legenda

oleh lentera bias jingga
17 maret 2013

izinkan aku menyapa

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Thursday, March 21, 2013 at 11:03pm
.....

hening
hening  membawa aku
ke langit malam,
malam yang meneguh kelam
melayang-layang tiada seimbang


(dalam tanya yang tak henti-henti)
siapa kau...,siapa kau
yang entah ke berapa kali
ingin kuingat, ingin kuingat
aku tersungkur...dalam sekali
dalam zat-Mu

hening malam
lalu  yang membuat aku
ingin bangkit, hanya karena-Mu
izinkan aku mengendap-endap
perlahan mencari suara sayup-sayup
petikan dawai sitar Anoushka Shankar
yang sempat terekam di memori kiriku
ketika aku mengenang ayahnya

dan suara merdu mengalun rendah
mengawali  "beloved" , petikan sitar
merawat imajiku  lalu ke tanah India
berhayat pada Gandhi, sang ahimsa
tanpa kekerasan walau di tengah konflik

aku kembali mencari
mencari suara-suara sitar
suara-suara dari tabla
suara-suara djembe
suara-suara bansuri
veena, cello dan perkusi
lalu " beloved " pun sayup-sayup


hening
hening pun membawa aku
ke langit malam
malam yang meneguh kelam
melayang-layang tiada seimbang


.....


lentera bias jingga
21 Maret 2013
terinspirasi dari musik  "beloved" Anoushka Shankar
buat sang maestro : Shree Ravi Shankar (Legendaris Sitar)

ibunda toba

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Sunday, March 24, 2013 at 2:00am
terbayang wajah  ibunda
yang mengajarkan kata
tempat muasal umpasa
menenun teduhnya suara

sepanjang padang hariara
ibunda merawat cinta setia
buat anak-anak yang dicinta
bekal kelak mengenal dunia

dari rumah-rumah kayu tua
tak terdengar tangisan duka
alam ikut mentasbihkan toba
ketika merawi hata ni debata

anak lelaki pembawa marga
saudara perempuan menjaga
cinta setia ibunda tanah toba
tak lekang karena harta benda

suara-suara langit dan bukit
disalin jadi musik bonapsogit
dan kain-kain yang bercerita
penyulam benang tiga warna

ibu yang mengajarkan kata
setiap janji bukanlah dusta
sebab adab tutur berbahasa
pertanda batak satu saudara

cinta menyimpan semua rasa
setiap umpasa dan doa-doa
walau satir atau oda adanya
isyarat rindu pada ibunda toba


lentera bias jingga
suara teduh dari hati yang menyala
24 Maret 2013,
 nyanyian kampoeng
 
basuh jiwa dan menyejuk hati, 
tatkala hening racau  alam.
riwayat  kampoeng 
 asal tanah menjadi cerita
 
desau angin perlahan
 mencumbu ubun di kepala. 
 dingin merasuk sumsum
helai-helai daun menari-nari diterpa
batang padi mengiringi irama
irama samba.  padang sentausa
 
 rindu ibu meransum siang 
dalam bungkus  pelepah  daun pisang
harum  daun ubi tumbuk
dalam rantang dan ikan asin bakar, 
menanti panen padi dalam nyanyian  di simbolon
 
menghalau  lelah di dangau sejenak 
gemericik air di pancuran 
lima, tujuh, sebelas  bangau putih 
terbang  merapat 
mencari sepat di pematang bawah
ikut menanti sisa tulang 
dan ransum melukis sawah arah 
ke bukit menjulang langit 

lentera bias jingga
pusara seni

dalam gumamnya
ia menikam langit
dari teriak ambisi dan dengki
agar semburat merah memecah
lalu mengalir dalam buncah nanah

para lelaki tertawa di padang ziarah
menyaksi tubuh-tubuh seni terbujur
tanpa nyawa, tanpa suara, tanpa siapa-siapa
dalam bangkai busuk menusuk
sebab belati kuasa
telah menikamnya berkali-kali
hingga ia mati
lalu ditinggal pergi

bukan janji

by Lentera Bias Jingga (Notes) on Friday, April 5, 2013 at 3:41pm
ia pun berhenti dan mati
dari perjalanan tak bertepi

tak ada lagi risau keluh
tak ada lagi tetes peluh

sebab jiwa telah pergi
sebab hati  telah berjanji

waktu hanya menundanunda
apa hidup masih bermakna

jejak-jejak kaki cuma saksi
tuah badan mungkin berarti

siapa sesungguh pemilik janji
lalu datang tak pernah dinanti


lentera bias jingga
5 hbaprildoeariboetigabls

Rabu, 03 April 2013

sepertinya ini bukan rindu



kusalinkan 
selarik rindu
pada 
kertas hijau ungu 


lalu kuselipkan 
pada setangkai 
bunga jambu
di taman rumahmu

 
" Din, 
aku baru di sini menunggu
tak sampai sejam lalu."

 

silhuet


rindu 
pada bulan 
terselaput awan. 

mengintip di 
balik kabut. 

tak ingin terang dan jalang
 waktu sejati


pagi tadi
dingin telah pergi
angin seperti terkunci
dalam ruang-ruang
yang berdinding sunyi

dalam hening panjang
langit seperti tak ingin
memekikkan gemuruh
langit seperti berdamai
dengan cahaya pagi
mega pun bergulung sepi
ia telah pergi memenuhi janji