Sabtu, 28 Juli 2012

resam bubur pedas
 
by Lentera Bias Jingga on Sunday, July 22, 2012 at 5:25am ·
alamak...
pucuk dicinte ...ulam  pun tibe
biduk dikayuh tanjung benoa
puase pertame nak lalu jue
cari berbuke di Mesjid Raye

ade pule bubur pedas puase
campur anyang..sodap kurase
lupe sesaat ....sholat pun tibe
bile tak salah itu khas tetangge

wangi nian rencah ketumbar
daun kentutan jadi tak hambar
merica hitam, jinten dan adas
nikmat arome, manis  pun pedas
kelape parut elok disangrai
kol diiris laluken setangkai serai
berbuka puasae kian  pertame
ingat cerite hikayat si lebai
hulu dan hilir tak jua tercapai

kangkung  potong tipis-tipis
sepinggan rebung mude direbus
bila sedih usahlah menangis
ramadhan datang dusta ditebus

cabai merah  elok diiris-iris
mentege saus  pakis ditumis
tibe berbuke nafsu meringis
makan pun minum laris manis

bawang putih, bawang merah
oyong, daun kunyit juge halia
pasang janji  bile buke bersame
bubur pedas ade di setiap istana

jamur merang, kacang panjang
tahu putih,kecambah, selasih
bila datang waktu sembahyang
dahulukan isye sebelum tarawih

ditambah pule sayuran lain
kol, kapri, daging dan kecepe
amboi...siape tak kenal ini ?
bubur pedas dengan segale ciri


dibuat oleh : lentera bias jingga
buka pertama
ramadhan 1433 hijriah
lelaki pejalan kaki
 
 
by Lentera Bias Jingga on Saturday, July 28, 2012 at 11:08am ·
sebelum pukul 06.00
kujemput kau di stasiun terakhir
dari perjalanan panjang yang terlahir

lalu kita keliling kota
mencari catatan yang sempat hilang
puluhan tahun sejak kau tak di kota ini

dari rautmu banyak pertanyaan
yang ingin kau sampaikan padaku
tentang kota kelahiran yang tinggal
secuil menyisakan kenangan kanak-kanakmu
.....................................................
tapi itu hanya kau simpan dalam kerut keningmu

atau mungkin kau mahfum
semua jerit dan pekik di kota ini
sudah tak terdengar lagi
sebab tembok-tembok telah tinggi
sebab ruang diskusi telah mati
sebab para lelaki sudah pergi
itu  upeti terus menjadi-jadi

ada yang mengusik dalam ingatanku
bukan cara bicaramu
bukan tentang tulisanmu
bukan semangat idealismu
namun pengembaraan
yang panjang tak mengubah haluan
tak mengubah pendirian tak mengubah kehidupan
kau lelaki pejalan kaki sejati


oleh :lentera bias jingga
 hening
 
 
by Lentera Bias Jingga on Thursday, July 26, 2012 at 6:17am ·
aku terjaga
menikmatimu
dalam hitungan jari
diam-diam
seturut
degup jantung
 dan sekon waktu
.............
lamat-lamat
dalam kesendirian
di depan halaman notes ini
ingin kusulam sajak
buatmu dini hari
yang membawa aku
dalam kelambu hening
nan  teramat kurindu
dari jejak-jejak siang
penuh malang melintang

lalu kususuri detil waktu
dari urat-urat di lenganku
yang mulai kusut masai
dijemput satu demi satu
ke ruang hening tiada
terjaga tatkala siang
jejakku malang melintang

hening membawa aku
pulang ke rumah sanubari
tempat ibu melahirkan hati
kukuh  dari kegalauan janji
yang menyulut hati luka
namun tanpa membenci

hening....
bawalah aku dalam cumbuanmu
yang terus mengalir hangat
setiap waktu
e..ee...datang puasa
 
by Lentera Bias Jingga on Saturday, July 21, 2012 at 1:42am ·
bila puasa datang
taringot umak
ke kampung tengah
mencari bunga pinang
daun pandan, kayu bakar
perencah pangan dan sayuran
buat sahur dan berbuka
 esok puasa pertama


bila puasa datang
taringot umak
membuat tungku
di halaman belakang
beratap rindang dedaun kemang
merebus tangkai bunga pinang
bercampur pelepah daun pandan
seusai lohor petang bertandang

pun anak-anak
bertelanjang dada
dari kampung bawah
ramai berdatang sebelum petang
meminta barang segantang
air pandan si bunga pinang
pewangi rambut dan badan
saat tarawih malam menjelang

tak  kulihat 
umak  ke pasar poken
merancah punggahan
hingga harga daging
santan, dan jintan
naik tak tertahan

 tapi
yang tak kulupa
umak suka berpesan
kepada anak-anak kampung atas
esok  tiba puasa kalian bisa menahan
tak jajan seharian bikinlah tabungan
biar lebaran  elok jalan bersama teman-teman

dibuat oleh : lentera bias jingga
awal puasa

Kamis, 12 Juli 2012

 
 kuint : bersepeda
 
by Lentera Bias Jingga on Thursday, July 12, 2012 at 12:57am ·
dengan bersepeda
kulihat hidup nyata seadanya
dari kampung nelayan ke dermaga
dari petani jagung ke ladang delima
dari buruh tebu ke pedagang kaki lima

dengan bersepeda
nyali hidup sumber tenaga
mendaki terjal lumpur terbuka
melawan pegal tanjakan tak rata
mengatur nafas nan sesak di dada

dengan bersepeda
jadi bersahaja tak ingin mengada-ada
prostat terjaga di usia menjelang senja
glukosa mereda mengalir di seluruh raga
lemak terpecah tak jadi biang bencana

dengan bersepeda
hidup sehat hemat polusi udara
apalagi jalan ke kota ada  jalur utama
selamat badan tak disorong angkutan kota
yang suka nyelonong tanpa beri  aba-aba

dengan bersepeda
kawan baru ada dimana-mana
di dusun-dusun  masih suka menyapa
sambut ceria bersorak-sorai sepanjang mata
setulus sapa, kata  menghias penuh pesona

dengan bersepeda
raga terjaga dari usia menua
cinta sesama terjalin begitu saja
tanpa direka dari  akal-akal  semata
hasrat terjaga  semangat bersaudara

oleh : lentera bias jingga
12 Juli 2012
 lelaki perakit di hulu Batang Serangan
 
by Lentera Bias Jingga on Tuesday, June 26, 2012 at 1:06am ·
malam mengantar hening
lewat sisir jendela kamar

ada bulan sepertiga sabit
mengantung di dahan sawit

dan lelaki perakit ...
ia pergi tinggalkan senja
yang pucat temaram

dan lelaki perakit ...
ia tegak dalam kepastian
melebur duka dalam kesendirian

dan lelaki perakit ...
ia tauladan kesanggupan
dari malam yang tak tenggelam

dan lelaki perakit ...
yang menyulam harapan
dari aral yang berkelindan

dan lelaki perakit ...
ialah  sesungguh kehidupan

raut kilas waktu
 
by Lentera Bias Jingga on Sunday, June 17, 2012 at 11:59pm ·
lalu malam menjadi saksi
perjalanan menjemput waktu
dan tanda-tanda kebesaran-Nya
Masjidil Haram ke  Masjidil Aqsa
Jejak berpijak ke  Sidratul Muntaha

biarkan malam merangkai peristiwa
lima waktu jadi tanda setia
bukan cuma di ranah kata-kata
bukan cuma di ranah gerak raga
bukan pula pamrih pahala semata

biarlah malam menyulam makna
lima waktu jadi tata semesta
kehidupan manusia
dalam  tanda-tanda cendekia
dari sidratul muntaha ke jagat raya
menyeru pada setiap nafas
ada gerak yang mengalir dari sana
merawat nasib sesama
merawat hidup bersama
menjaga hati teguh sesuai bicara

27 Rajab 1433,Isra' Mi'raj
zulkarnain siregar
 apa ini puisi ?
 
by Lentera Bias Jingga on Sunday, June 17, 2012 at 1:05am ·
apuse kokon dawo
menangislah bumi papua
api meletup-letup dimana-mana
membakar dada dalam durjana
para lelaki tak urungkan niat
lepaskan perempuan
lepaskan anak
dari hajat
yang jadi
murka

ya rabe soren do reri
menangislah di bumi papua
sebab terasa sekian lama
tanah entah jadi milik siapa ?
para lelaki berkoteka
yang bertelanjang dada
hanya tinggal dalam nama-nama
hanya tinggal dalam nada-nada
sesungguhnya papua milik siapa?

by : zulkarnain siregar
puisi pagi
 
by Lentera Bias Jingga on Saturday, June 16, 2012 at 7:35am ·
selamat pagi, Tuan !
sarapan telah disediakan
koran sudah datang

bila Tuan hendak berjalan
sekitar kawasan telah aman
jalan-jalan telah dibersihkan

kalau Tuan perlu kenderaan
supir-supir telah disiapkan
pedagang jalanan tak kelihatan
hendak kemana siak
 
by Lentera Bias Jingga on Friday, June 15, 2012 at 11:23pm ·
kemana siak
yang dulu mengalir
riak dan kecipak
empat keadaban ?

membawa biduk
riau ke dermaga
melayu serumpun
dari malaka hingga aru

siak, kini apalah daya
laut tak hendak jadi muara
pantai tak jua melandai
tebing dan tanjung jadi bencana

rindu siak rindu riak
budaya puak kemas ditepak
pertanda sirih kata pembuka
resam melayu jadi dermaga

oleh : zulkarnain siregar
hendak ke mana siak by Lentera Bias Jingga on Friday, June 15, 2012 at 11:23pm · kemana siak yang dulu mengalir riak dan kecipak empat keadaban ? membawa biduk riau ke dermaga melayu serumpun dari malaka hingga aru siak, kini apalah daya laut tak hendak jadi muara pantai tak jua melandai tebing dan tanjung jadi bencana rindu siak rindu riak budaya puak kemas ditepak pertanda sirih kata pembuka resam melayu jadi dermaga oleh : zulkarnain siregar
 sibolga nauli
 
by Lentera Bias Jingga on Saturday, June 9, 2012 at 12:04pm ·
rindu menepis pagi
lewati resah yang bergulung
di atas jalan-jalan menikung
di atas jurang curam harakiri
langit terasa damai, pepohon
menyapa batuan dingin rekah
mata air mengalir dari bukit

di atas ini
membentang laut sibolga nauli
zamrud  berkilau yang membiru
dalam lekuk-lekuk bukit di ujung
terkenang juga barus kesohor
dalam jejak-jejak niaga purbawi

di atas ini
asa terselip pada hamparan bukit
dan jalan-jalan menikung
yang tak terhitung dari tarutung
sibolga nauli, o..sibolga nauli
rumah semua puak
rumah semua tanda
rumah semua rindu
sibolga nauli, o  sibolga nauli


By: zulkarnain siregar
 elegi damar
 
by Lentera Bias Jingga on Saturday, June 9, 2012 at 12:25am ·
tak hirau lagi damar
harum pun merona aroma
di bukit-bukit tapian nauli
tinggal dalam kenangan

akar pun tercerabut
dari hati bumi, tanahtanah
tapian nauli berganti sawit
berganti pepohon kertas

para lelaki dan otot kekar
silih berganti jadi tuan-tuan
di tanah ulayat yang dulu
merdu oleh simphony damar

kemana perginya damar?
kucari ke utara
ternyata sawit
kucari ke barat
bukit-bukit sakit
kucari ke selatan
damarku sekarat
kucari ke timur
tinggal elegi damar

by:zulkarnain siregar
08062012
waktu batu
 
by Lentera Bias Jingga on Friday, June 8, 2012 at 12:10am ·
kusisir jejak ke hulu
mencari awal  waktu
pada pecahan batu
pada  percik dedaun
pada  miang-miang aur
yang terserak dibawa angin
yang terbelah oleh air
yang mengental jadi sulbi

aku pulang ke waktu lalu
menyusun batu jadi tugu
merawat dedaun jadi katun
merangkai miang jadi kembang
lalu waktu berpeluh
ketika rindu serasa menderu
angin membawa debu
langit dadu  mengental jadi biru

biar waktu jadi batu
aku pun pulang pada rindu
yang membelenggu rupa rasa
rupa raga, punah tak menentu
bukan seperti  pada datu-datu
walaupun  waktu terus berlalu
isyarat waktu adalah ragu
itulah kalbu dirundung rindu

by zulkarnain siregar
 lelaki jurung
 
by Lentera Bias Jingga on Tuesday, June 5, 2012 at 1:20pm ·
legam kulitnya
mengayuh sampan
menyusuri tepian
sepanjang hilir
batang serangan

lelaki tua
pancari jurung
berpantang surut
hingga malam melarut

janji bertaut
jurung pun sangkut
sampan hilir menyurut

lelaki jurung
tak pernah urung
niat mengarung malam
hingga tinggi membubung

lelaki jurung
elu-eluan orang kampung


by zulkarnain siregar
                 ?
 
by Lentera Bias Jingga on Tuesday, June 5, 2012 at 3:32am ·
mengapa tanya datang
ketika malam sendiri diri

mengapa rindu menderu
ketika sepi dekat ke hati

mengapa ragu siapa aku
ketika mulut jadi terkunci

mungkin raga tak percaya lagi
mungkin lupa datang berbagi
di tengah kemelut siapa diri

adalah siang rasa menanti
tunaikan janji itu harmoni

biarkan waktu jadi berarti
renungan hari lalu  beraksi

tanya siapa datang bertubi
ketika malam seorang diri

bukankah hati terikat janji
sebelum pagi membuka diri

tanya luka  penawar sejati
kasih abadi bianglala bukti

jangan tanya kalau mengerti
bayangan diri kering di hati

lalu tanya bersemayam di hati
pertanda hari jadi lebih berarti


by : zulkarnain siregar
inferno
 
by Lentera Bias Jingga on Monday, June 4, 2012 at 1:09am ·
masih lelaki itu
berdiri di atas sampan
memotret senja apa saja
lewat warna bianglalala

aku tertegun dalam diam
pun langit jadi malam
malam yang menyimpan
lelaki itu pada ke-Ilahian

masih lelaki itu
hilang di tengah kegelapan
tanpa bayang-bayang
sampan kehidupan


by : zulkarnain siregar
lelaki dan tiga bungkus nasi
 
by Lentera Bias Jingga on Friday, June 1, 2012 at 1:09am ·
lamat-lamat kuingat
langit senja itu
merah temaram
diselimuti arakan awan
diiringi suara azan
sayup-sayup dari selatan

di gerbong renta
lelaki peminta-minta
usia baru belasan saja
istirah memuji Tuhan
hari ini ia dapat makan
tiga kali dengan dencis
rebus kacang panjang
dan sambal belacan

di gerbong renta
ia melukiskan dunia
yang begitu sederhana
dunia peminta-minta
yang tinggal entah dimana
dalam kitab undang negara
dan juga cerita punggawa

tak cuma cuma ia rasakan
tiga bungkus nasi , dencis
rebus kacang panjang
dan sambal belacan
mulai meretas asa
dalam  nama Tuhan
ia berserah pada  hati
untuk memuliakan rezeki
rezeki hari-hari ini
yang datang dari pagi tadi

walau tubuh  lelaki
tak berlengan apalagi  kaki
menghitung pagi sedikit lagi
hari-hari masih terus berarti
matahari tak pun ingkar janji
dengan tiga bungkus nasi
asal tak mencuri atau korupsi


by: zulkarnain siregar
00.00 dini hari 1 juni 2012
 lukisan malam
 
by Lentera Bias Jingga on Thursday, May 31, 2012 at 1:50am ·
malam, ....
aku menuliskanmu 
di dinding dingin
dan urat-urat tembok  liar
di stasiun penantian
di rumah-rumah kumuh
di cafe tak bertenda
dan  sepanjang simpang
hingga di kamar-kamar sepi
yang hilang oleh gurauan hujan

katamu : "  bulan tak lagi mengerti
 pada setiap pejalan kaki
yang pergi sejak tadi, tinggalkan
pagi  tanpa berharap selalu harus
jadi berarti

malam hilang  di peraduan
hujan rintik-rintik rindu
membasahi jalan hitam
yang larut  setiap waktu
manakala senja berbinar
dan tanda malam pergi
merajut hati , yang luka

malam, ....
ingin kuceritakan kisahmu
pada setiap tembok
keangkuhan yang luput
dari segala harapan

by zulkarnain siregar
 dawai dan recehan
 
by Lentera Bias Jingga on Thursday, March 8, 2012 at 1:08am ·
malam menggantung hujan
dengan rintik yang tak pernah jelas
dan aspal hanya berbekas basah
di tepi garis laju  pembatas
roda-roda waktu terus dikayuh
dengan peluh dan desah nafas
mencari puncak yang luput tak berhingga

entah mengapa bulan cuma sanggup
mengintip dari sapuan awan hitam
yang terus menyelimuti wajah kuyu
bocah penunggu recehan di persimpangan
yang coba memainkan dawai dengan irama
hampir tak begitu hingar bingar seperti
jalan-jalan sepanjang kuta di waktu malam
dan perempuan hilir mudik berpasangan
bergaun  tanpa lengan dan celana span sepinggang

tapi bulan hampir tak kelihatan
oleh malam yang terus berdentam-dentam
di sepanjang kute hingga legian
bocah penunggu recehan masih di persimpangan
memetik dawai yang hampir tak kedengaran
seakan terus mencari siapa pemilik malam
yang menghapus seluruh keadaban


 s e p i
 
 
by Lentera Bias Jingga on Friday, February 24, 2012 at 12:02am ·
ini malam sepi
orang-orang pergi
mencari diri
dari bilik-bilik
tanpa tepi

hujan tadi
membasahi hati
mengawali janji
mendekap bumi
meraup malam
menyalin hari-hari
dalam diari
waktu pun lekas pergi
 seperti tiada arti

ini malam sepi
orang-orang  pergi
penuhi janji
mencari bukti
seperti apa
sepi


by lentera bias jingga
tissu lila
 
by Lentera Bias Jingga on Wednesday, February 22, 2012 at 6:55pm ·
sebelum senja menjingga
kutuliskan sajak ini
pada tissu lila yang kauselip
di saku bajuku kemarin
ketika titik-titik bening
mulai mengalir hangat di pipimu
ungkapkan  risau kerinduan
ungkapkan luka kegalauan
yang meronta setiap waktu
sejak rupa terbelah dari jiwa

lalu sebait asa menyerta pada kata
bawalah sajak ke dalam malam-malammu
yang tersusun dari bingkai kerapuhan
dalam kelam yang sibuk memabukkan
setiap pori-pori terus menguak kelopak jiwa
hingga setiap hitungan gemerlap lampu jalanan
dan hidup yang kaujejal dalam sekejap ilusi
mengisi sisi yang tak lagi perlu kautangisi
sebelum pagi berubah terngiang janji
pergilah  malam merengkuh  peluh
mengurung ragu jadi batu
setiap waktu adalah bisu


ny : lentera bias jingga
interlude
 
by Lentera Bias Jingga on Thursday, February 16, 2012 at 10:34pm ·
malam menorehkan cahaya
kecil terselip di celah atap tua
ke ruang 2 x 3 pengap asap 
tiang-tiang tirus membayang
seperti garis lurus menancap
lelap mencari lingga yoni dari
tubuh malam yang membilur

titik cahaya jatuh di antara
dua dada lelaki dan wanita
yang mengayuh biduk renta
 dan menyulam malam dengan 
benang desah pada  irama
kelelawar menyambar suar
bulan lalu berjingkat dekat
malam terus berpeluh lepuh

symphony no 9 menyelinap
dari celah jendela tetangga
kadang sayup dibawa angin
dan dinginnya malam, redup
ranting pohon diam sesayup
refrein yang sedikit rasa riuh
yang disambut rit melankolis

bulan malam ini seperti pergi
melupakan janji seraut hati
ia sembunyi di pucuk-pucuk
mahoni lalu bersulang hingga
pagi hingar bingar para lelaki
membuka hari tanpa pekerti
yang muluk namun tetap dihati


by lentera bias jingga
 umbu sang empu
 
by Lentera Bias Jingga on Thursday, February 9, 2012 at 1:49pm ·
biar..biarkan siang meradang menguliti hari
di jalan-jalan membayang carut marut lelaki
dan lalu lalang janji  menikung beringsutkusut
kebut tinggalkan perempuan di bawah tenda
mereguk racun dalam hidup
yang ia yakin tak kan sia-sia

entah mengapa
lalu patahkan pancang siang ,
yang selalu menghalang di depan
membawa angan pada harapan
melukis dengan waktu
senandung dengan peluh
melenggang tak tak berirama tak  berubah
hingga membakar nyali tabah jadi abu serakah

biar..biarlah matahari tepat di atas
membakar seluruh  isi kepala
yang pernah ditumbuhi pepohon asa
hidup yakin tak pernah sia-sia setanjak usia
dari padang gembira berbalut duka nestapa
dan menyiangi seluruh rasa ringkih
menggumpal lalu membuncah dalam dada

bukankah peluh isyarat duka hidup adalah derita
dalam  tumpukan harta-harta  dan rayuan kuasa
lalu mengapa diri menyerah dalam jeratan materi?
padahal waktu cuma secuil ragu yang terus memburu
meneguh nafsu hingga memutar ke ujung  waktu

biar..biarlah  perempuan adalah waktu yang
menunggu sejak setia menyulam selendang rindu
tentang kasih yang membentang dalam rajutan kalbu


lentera bias jingga
9 pebruari  2012
bila bersepeda sudah di hati
 
by Lentera Bias Jingga on Tuesday, February 7, 2012 at 1:16pm ·
kutunggu minggu di ujung pagi
kawan  seusia terus menanti
mengayun pedal  mengurut nadi
jelajah kampung  pinggiran kali

jalan tuntungan mulus sekali
berkelok-kelok ke pajak melati
siapa pula tak meminang hati
bersepeda jadi tali silaturahmi

jauh bersepeda tanjakan didaki
peluh terpecah mengaliri sendi
dapat silaturahmi juga sehat diri
apalagi buat lelaki penjaga pagi

laju sepeda di hutan kanan kiri
hirup udara embun tanpa polusi
rute di tempuh dapat inspirasi
modal bangun pagi bahagia hati

semangat pagi rute lancung dicari
mengubah arah biar ganti berganti
kalau bersepeda jadi damai dihati
setiap pagi hidup jadi terus berarti

by : lentera  bias jingga
 gumam malam
 
by Lentera Bias Jingga on Monday, January 30, 2012 at 11:12pm ·
sepi di sudut gang
ada cerita tentang perempuan
ada cerita tentang warisan
dalam redup malam yang berbicara
di rekah hati yang gundah
jalan-jalan tak bertepi
lalu gerimis sedikit tersenyum
daun-daun semburat ranting

malam jadi pualam
alun symphony bilur kelakar hidup
sedikit cinta tumbuh dalam bibir bulan
yang merekah di ruang-ruang batin
ada jentera yang memilin rindu
rindu masa lalu yang masyuk
walau tirah merdu tanpa lentingan
gitar tak berdawai

larut malam menembus relung
perempuan dan warisan
adalah bunga kehidupan
menyemai di taman sukma
merayu malam di bawa pulang

by: lentera bias jingga
rumah ngumpul pak haji
30 januari 2012
23.10
 ketika bulan bergincu dadu
 
by Lentera Bias Jingga on Sunday, January 29, 2012 at 5:07pm ·
ia lelaki tayu dari masa lalu
yang menulis semua biru
dalam setiap persinggahan
dari waktu ke waktu dengan
tinta luka yang terus memburu
jalan hidup berlalu tak tentu

catatan pilu lagi-lagi selalu
berakhir di batu saat  ia lukis
dengan semua kata-kata bisu
dengan semua arti peluh rayu
ketika langit berkabut abu-abu
ketika randu jadi merah dadu

bukit-bukit hitam itu berbatu
cadas dan keras penat tandus
sepanjang tayu kalingga serayu
pengiris  ritus perempuan tayu
yang lalui hidup berbekal malu
dari nafkah lelaki pemalu batu

hingga waktu terus berlalu
bulan tak lagi di daun jambu
bergincu rayu di bawah randu
menyulam malam tanpa kelambu
hingga pagi sedikit tersipu-sipu
melihat ragu dari pintu ke pintu

hidup keras tak ubah batu
meradang ragu setiap waktu
berburu langit biru, laut biru
tapi bulan terus begitu sayu
jalani laku menunggu waktu
di pucuk randu menguncup malu
 ketika bulan bergincu dadu
 
by Lentera Bias Jingga on Sunday, January 29, 2012 at 5:07pm ·

ia lelaki tayu dari masa lalu
yang menulis semua biru
dalam setiap persinggahan
dari waktu ke waktu dengan
tinta luka yang terus memburu
jalan hidup berlalu tak tentu

catatan pilu lagi-lagi selalu
berakhir di batu saat  ia lukis
dengan semua kata-kata bisu
dengan semua arti peluh rayu
ketika langit berkabut abu-abu
ketika randu jadi merah dadu

bukit-bukit hitam itu berbatu
cadas dan keras penat tandus
sepanjang tayu kalingga serayu
pengiris  ritus perempuan tayu
yang lalui hidup berbekal malu
dari nafkah lelaki pemalu batu

hingga waktu terus berlalu
bulan tak lagi di daun jambu
bergincu rayu di bawah randu
menyulam malam tanpa kelambu
hingga pagi sedikit tersipu-sipu
melihat ragu dari pintu ke pintu

hidup keras tak ubah batu
meradang ragu setiap waktu
berburu langit biru, laut biru
tapi bulan terus begitu sayu
jalani laku menunggu waktu
di pucuk randu menguncup malu

ketika bulan bergincu dadu

by Lentera Bias Jingga on Sunday, January 29, 2012 at 5:07pm · ia lelaki tayu dari masa lalu yang menulis semua biru dalam setiap persinggahan dari waktu ke waktu dengan tinta luka yang terus memburu jalan hidup berlalu tak tentu catatan pilu lagi-lagi selalu berakhir di batu saat ia lukis dengan semua kata-kata bisu dengan semua arti peluh rayu ketika langit berkabut abu-abu ketika randu jadi merah dadu bukit-bukit hitam itu berbatu cadas dan keras penat tandus sepanjang tayu kalingga serayu pengiris ritus perempuan tayu yang lalui hidup berbekal malu dari nafkah lelaki pemalu batu hingga waktu terus berlalu bulan tak lagi di daun jambu bergincu rayu di bawah randu menyulam malam tanpa kelambu hingga pagi sedikit tersipu-sipu melihat ragu dari pintu ke pintu hidup keras tak ubah batu meradang ragu setiap waktu berburu langit biru, laut biru tapi bulan terus begitu sayu jalani laku menunggu waktu di pucuk randu menguncup malu
 Nanda ..... (si anak panah)
by Lentera Bias Jingga on Thursday, January 19, 2012 at 1:59pm ·

pergi...pergilah nanda, anakku
tegakkan kaki dunia di luar sana
sebab ia laluan masa
adalah bukan duniaku lagi
seperti apa, sekarang di kepalaku
seperti apa, terbayang olehku
seperti apa, kualami hari hariku

nanda....anakku
biar masa tak selalu sama
walau kadang bagai mengulang
walau ia kadang mabukmenjenguk
walau pun terus menyapa
namun itu hanyalah asa
yang terus kusemai
padamu helai demi helai


masa larut tersenyum
kasih terus menumbuh
bagai bunga di taman
kian mewarna, merona
bagi matahari harapan

pergi..pergilah nanda
mumpung pagi masih belia
 tatkala harum bunga pun
menyebar ke mana-mana
lihat kelopak-kelopak beraneka
mewarna taman rahasia rasa
selama masa menyalin cerita
umur cita kepit digenggam jiwa

Medan, 04 Nopember 2010