Jumat, 15 Februari 2013


lelaki peniup sulim


ia datang dari langit yang teduh
ia datang dari riwayat oda yang tumbuh
di batas rumpun-rumpun aur sepanjang huta
meniup sulim memainkan bunyi-bunyi umpasa
di tanah batak sebagai somba debata

lelaki yang sederhana
lelaki yang ada dari orang biasa-biasa 
menyalin pesan-pesan dari jejak bukit Toba
melukis asa pada jendela dari setiap tanda-tanda suara
yang setengah terdengar dihalau tebing hariara
dari sisa cemara yang menghalau rindu tanah ibunda
sepanjang danau membentang selatan ke utara


irama sulim membahana dalam sukma 
mengusung rindu anak rantau dari  legenda raja-raja di kota
 haru biru tebing-tebing curam penyangga sepanjang tapian Toba
bersenandung "andung-andung" ketika senar hasapi dipetik begitu saja
bukan karena matahari tak lagi memantul cahaya kebeningan Toba

lelaki yang bersahaja
lelaki yang acap kali merawat bunyi yang telah sunyi
dan menyulamnya dari ranting-ranting yang jatuh di tepi-tepi
terdengar lenting  berdenting di daun-daun rerumputan kering
bukit-bukit  pangururan, rura silindung dan  hamparan porsea

ia anggun menyapa telinga sesiapa
memaknai kantata dalam syair-syair oda
dari tanah yang meriwayatkan si Singamangaraja
dari desau angin yang bercerita tentang Bakara
ia lelaki peniup sulim yang terus menjaga suara
untuk hikayat dan legenda hatani debata

ia penyulim yang masih setia
pada bumi dan mata air yang masih bersuara
walau air mata pora-pora yang tinggal di kolong-kolong keramba
kering ketika senja tiba, menanti malam-malam diam tanpa suara
ia merajut bunyi  di tengah suara-suara yang serak dan luka



oleh : Lentera Bias Jingga
15 hb doea @doeariboutigabelas

Jumat, 08 Februari 2013



Lelaki dengan Lentera

aku  lelaki yang datang dari utara
dari belahan bukit-bukit yang tak lagi teduh oleh pinus dan cemara
menjenguk rona senja di bibir Toba  dengan  berbekal lentera
ketika sunyi menjaring bunyi-bunyi semesta terasa luka
ketika deburan ombak danau bicara dalam bahasa mantra

ooo...Debata
rindu itu  pula yang membawa rasa aku ke sana
rindu gubahan Nahum ketika sulim dan hasapi mengayun ombak
sejuknya Angin Danau  Sitor yang menyulam sajak dari ketiak Toba
dan Pusuk Buhit yang meruwat  bumi  Debata Mula Jadi Na Bolon
Pada salinan lak-lak yang tersimpan di saku kemeja para tetua
pada bukit-bukit yang menyimpan sejarah marga-marga
pada tarombo dohot turiturian ni bangso batak
yang aku cerna  walau dengan mengeja terbata-bata

aku  lelaki yang datang dari utara
menjemput rindu tanah kelahiran yang sempat sirna dari kepala
ketika langit beranjak senja, ketika keramba ada dimana-mana
danau hampir tak berdaya, langit pun tak lagi memantulkan cahaya
biduk-biduk tak juga  menari-nari  diayun angin danau entah kemana
riakriak kecipak ombak yang mengiring  tarian genit  pora-pora makin tak terasa

ooo...Debata
biarkan  aku lelaki yang datang dari utara
menyalin lagi  satu-satu  rindu yang membawa rasa  ke sana
pada gerimis senja, pada dermaga tanpa nama, pada danau yang tak berdaya
mengulang kembali isi kepala, tentang cemara, tentang genitnya pora-pora
tentang marga-marga yang kehilangan huta dan ombak yang tak lagi mengayun biduk nelayan
sebab angin-angin utara telah mati ditelan bunyi-bunyi genta penyamun dan hirukpikuk gelondongan


oleh : Lentera Bias Jingga
09 Pebruari @duaributigabelas

 Tangkai Duri pun
  daun berterali








biarlah langit itu setinggi janji
biarkan sangsi itu terus berbukti
mungkin esok matahari tak terbit pagi
hujan rintik membasahi bumi sejak dini

namun jangan biarkan hati
tumbuh dari tangkai duri dan daun berterali
bila mungkin tak serendah hati para sufi
yang meretas kaji jadi janji yang bertepi

Rabu, 06 Februari 2013



Pui_Si Boru Enggan


kepadanya ia menuliskan puisi
tentang batu-batu cadas, rumah tinggi dan dinding papan hitam pekat
sungai kecil yang mengalir dari mata air di kaki sibual-buali
tanah merah, lereng bukit, buluh  pancuran dan jalan menikung itu
bau belerang, kolam air panas di belakang mesjid
dan tor sibohi yang penuh ornamen angkola
terus mengalir jernih dari setiap nafas dan ingatannya

 

masih terasa waktu menoreh pesan
lelaki yang membawa kuda penuh beban
lelaki yang memanen karet menyusuri lembah setiap sepekan
dan perempuan-perempuan  yang pergi ke pekan
dalam puisi yang ia nyanyikan setiap memuji Tuhan
ia pungut perlahan dari ranting-ranting ingatan
merapikannya pada setiap pucuk harapan
meluruhkan  dedaunan  yang tergerus zaman

 

ia terus menulis puisi
hingga kata-kata itu telah mati
batu-batu cadas pun meranggas
rumah tinggi tak berdinding papan hitam pekat lagi
sungai kecil yang tak lagi mengalir dari kaki sibual-buali
tanah merah, lereng bukit, buluh pancuran dan jalan menikung
satupersatu mulai lenyap dari semua ingatan.
 

bau belerang, kolam air panas di belakang mesjid
dan tor sibohi yang penuh ornamen angkola
berhenti mengalir dari setiap nafas dan ingatan

walau masih terasa waktu terus menoreh pesan
l

elaki yang membawa kuda penuh beban
lelaki yang memanen karet menyusuri lembah setiap sepekan
dan perempuan-perempuan masih pergi ke pekan
namun bukan dalam puisi yang ia nyanyikan setiap memuji Tuhan

 

ia masih memungut perlahan dari ranting-ranting ingatan
bukan untuk merapikannya pada setiap pucuk harapan
bukan meluruhkan dedaunan yang tergerus zaman
ia kehilangan tujuan sibual-buali elegi masa depan



lentera bias jingga
dini hari 23 Januari 2013

1 bait saja











senja ini semua menguap di kepala
jalanan berkrikil, tanah merah berlumpur, jembatan batang kelapa
lembah curam, irigasi sawah, ladang jagung dan anak-anak desa
yang jauh dari kepenatan di dada, dari keculasan akal bicara kita
dari kuasa debu-debu kota yang membekap saluran nafas manusia
semua itu kata-kata yang turut menempel di pedal-pedal sepeda
terakit dalam  sajak yang mengayuh roda belakang laju ke sana
di jalan-jalan mendaki cukup satu bait saja 

 lentera bias jingga
 24 Januari 2013