Sebelum pukul 06.00 pagi
Kujemput kau di stasiun kereta api
yang tiba pagi ini
Pulang dari rantau seorang diri
tadi, dini hari
Setelah yang kesekian kali
Rasa tak jua sempat memenuhi janji
Ingn bersua di Taman Lili Suhery
Begitu saat kau menginjakkan kaki
di peron stasiun kereta kota ini
kuajak kau keliling menikmati pagi
dengan honda astuti
mengulang-ulang semua memori
memanggil-manggil ingatan tempo hari
di kota yang ini, kota yang pernah dipimpin oleh Syurkani
berpuluh tahun tatkala sungai Deli
mengalir jernih membelah Medan hingga Labuhan Deli
Kenangan pun datang membayang
ketika pulang menonton dari bioskop Bali
sembari menikmati sore dengan berjalan kaki
sepanjang pohon asam hingga ke jalan Jati
lain lagi cerita dari kuburan cina hingga Astanaria
pun aku takkan pernah lupa kaubawa tapisan kelapa
yang kaucuri punya ibunda
gila-gilaan untuk mencari ikan laga
Juga kuingat-ingat kenangan manis dari Loh A Yok
ke jalan Asia , Pandu hingga Waspada
kita pernah kesasar bersepeda sampai menjelang senja
walaupun....
sejak kau tak lagi sekota
kita tak pernah bercerita
surat dan berita tak pernah ada
aku pun tak tahu rimbanya dimana
kota pun hilang dari peta keadaban cinta
Dari raut keningmu dapat kubaca
ada berpuluh-puluh tanda tanya
tentang gedung-gedung tua bangunan Belanda
dari Kesawan hingga penjara Sukamulia
raib entah kemana diterjang buldozer rencana kota
Bila puluhan tahun juga, kota tak lagi biasa
rimba bata menjulang hingga angkasa
kota kehilangan makna komunikasi sesama
tak seperti polis-polis Yunani Tua
yang menjaga harkat manusia dengan pencipta
Dari rautmu masih kubaca
engkau tak lagi pernah percaya
kalau pemimpin kota hidup bersahaja
cukup bersepeda dari istana ke balaikota
bukan dalam tanya : " Ini kota ? "
"Atau sisa-sisa keadaban tak bernama."
Ada Trembesi hidup merana
lalu hilang ditelan lampu-lampu lapangan Merdeka
pun mahoni-mahoni angan semata
kini hanya jadi nama jalan biasa
pohon asam perlahan sirna
buta mata, buta kepala hingga nanar pandangan mata
Tanda tanya tersimpan di raut muka
"Mengapa kota jadi seperti tak tertata ?"
Tanah lapang dan tempat-tempat bersua
hampir tiada tak mengesankan avenue kota
Tegur sapa pun apa daya, sirna di lalu lintas jalan raya
kemacetan menyisakan kekerasan di dada
matahari mulai memancar hangat di setiap sudut kota
orang-orang mulai hilir-mudik menuju kerja
lalu kita sempatkan keliling kota
mencari catatan yang hilang entah dimana
Puluhan tahun itu adalah pertanda
usia tak lagi muda, ruang bersastra
dan jalur bersepeda jadi inspirasi penyiar kota
untuk menulis epik dalam belantara kronika
di stasiun RRI Nusatara Dua jalan Bintang belakang Olimpia
ada Roman Picisan dan serial komik di Titi Gantung sana
tempat bersejarah dan saksi hidup kota
lagi, lagi....
secuil asa kenangan Mesjid Raya
Kuil Shri Mariamman juga Gereja Khatolik Santa Maria
membuat Medan begitu beraneka
Kini, ...
Kota seperti lenyap dari sanubari warga
pekik dan jerit pagi tak lagi bersuara
sebab tembok-tembok telah tinggi ke angkasa
ruang diskusi pun telah tiada
dan para lelaki meninggalkan kota
hingga geng pencuri tak pernah jera
sesuka hati menyakiti siapa-siapa
seperti upeti terus berganti nama
terus mengusik hati sesak di dada
Tapi....
ada yang membuatku jadi suka
lalu ingin mengulang-ulang kata
bukan kebiasaan yang bebal juga
bukan pula janji yang tanpa fakta
adalah kisah sahabat kota yang setia
pejalan kaki...
yang sungguh bijak bestari
tidak dari cara bicara sehari-hari
tidak tentang tulisan yang berani
tidak tentang semangat memuji-muji
sebab kembara melatih jatidiri
tak ragu dalam memilih
tak berubah dalam menjaga hati
tak berganti ideologi karena tak wara-wiri
jadi hidup lebih berarti
walau waktu pasti berganti
Engkau lelaki pejalan kaki
Hidup sekali, teguh berani hati berjanji
oleh : Lentera Bias Jingga
1 Muharram 1434 H
Edisi Medan