Sabtu, 03 Juli 2010

Biduk tak berhulu

Tak terbacaku raut bulan, telah tersembunyi di balik awan
yang berarak sebelum dinihari tiba dari sepanjang arung
sungai yang membawaku ke hulu rasa.saat masa meramu
kata menumpang biduk kantata, merdu mengalun embun
di tengah pekatnya malam yang terpantul ketika hening
menghablur dalam raga, bukan rupa yang merenda rasa

Tertanya hasrat lewat kata, mengapa bulan tak mampu
menyeruak awan dengan sinar yang rupawan? padahal
malam telah memberi isyarat agar bulan menjadi baiduri
pangganti laila majenun sebelum dinihari tiba pada waktu
yang siap membelenggu. Lalaikah rasa yang merindu kalbu
karena terselip pilu tak jemu-jemu menggugah tubuh ragu

Mengapa bulan tak menyelami sungai hingga ke hulu, agar
biduk mampu menyusuri setiap detil lekuk air yang bening
lalu berkayuh pada riak gemericik arung pemecah hening
Masihkah bulan terpesona pada arakan awan yang merayu
lalu melantun sendu dengan aroma kelamnya membayang
bayang riuhnya sendalu. Hingga bayu tak mampu merindu

Lalu ke hulu kah biduk bersama malam yang sama seperti
tak berbulan menyusuri tepian tanpa detil lekuk air yang
bening lalu berkayuh pada riak gemericik arung pemecah
hening. Biduk melaju menuju hulu tanpa meragu di ujung
waktu, lalu tak ingin lagi merayu cumbu malam di bawah
rimbunan rumpun bambu di sepanjang tepian sungai itu


By: Zulkarnain Siregar
green grey :3 Juli 2010

Tidak ada komentar: