tak lagi kulihat ada lampu trafic light
yang mengatur lalu lintas kenderaan
seperti kemarin itu sesak menyesak
diatur waktu yang ragu menunggu
konon semua tau ada laju sebelum
lampu berganti lalu pada yang lain,
tanpa terbelenggu rasa aku
tak kudengar lagi raungan klakson
pemberi tanda agar yang depan melaju
di celah-celah waktu , terus menghimpit
lalu menjepit. sepertinya, semua melaju tau
mengatur laku di sela-sela rambu kalbu
tak lagi meriuh rendah, menyempit tak
berjarak , tinggalkan rasa lelah tak berdaya
pagiku sesaat serasa nyaman sekali ada di..(?)
venue : seandainya semua pagi ada di kotaku
sewaktu aku ingin menuliskan rinduku jadi
teraju
by:Zulkarnain Siregar
padang bulan 21 Juli 2010
Kamis, 22 Juli 2010
Minggu, 18 Juli 2010
lazuardi zuhud
Today at 7:58am | Edit Note | Delete
ada pagi yang menunggu aku
di setiap persimpangan waktu
dengan segenap harap dipacu
bersama cita yang tiada ragu
walau usia terus berlalu, laju
hari menjadi saksi setiap tuju
di seluruh penjuru langit biru
tempat kautitip puisi-puisi itu
di kaki langit terlihat sendalu
sedang merayu pucuk gaharu
tanpa bimbang dan ragu-ragu
mencari tahu apa hakikat ilmu
mengapa harus ditanya melulu
kalau hati rada-rada tak tentu
biarkan gundah tinggalkan ragu
sebab derajat lalui makrifat tau
inilah lagu yang indah dan merdu
jikalau kita mendendang sewindu
tinggalkan hubbud materi melulu
bukakan gerbang menuju keSatu
by : ZUlkarnain Siregar
19 Juli 2010 di ujung waktu
renungan ahad menuju isnin
ada pagi yang menunggu aku
di setiap persimpangan waktu
dengan segenap harap dipacu
bersama cita yang tiada ragu
walau usia terus berlalu, laju
hari menjadi saksi setiap tuju
di seluruh penjuru langit biru
tempat kautitip puisi-puisi itu
di kaki langit terlihat sendalu
sedang merayu pucuk gaharu
tanpa bimbang dan ragu-ragu
mencari tahu apa hakikat ilmu
mengapa harus ditanya melulu
kalau hati rada-rada tak tentu
biarkan gundah tinggalkan ragu
sebab derajat lalui makrifat tau
inilah lagu yang indah dan merdu
jikalau kita mendendang sewindu
tinggalkan hubbud materi melulu
bukakan gerbang menuju keSatu
by : ZUlkarnain Siregar
19 Juli 2010 di ujung waktu
renungan ahad menuju isnin
lupakan nusantara (?)
Yesterday at 12:02am | Edit Note | Delete
ada renta yang tergores dalam raut wajah
ketika kucoba mengenal lebih detil tentang
apa saja yang tersimpan pada benak hari
hari yang begitu mengalir dalam secuil asa
yang engkau dirikan sejak tanah ini belum
terjamah tangan-tangan liar di sepanjang
aceh hingga papua. seandainya nusantara
renta itu lalu keriput, kering tak bercahaya
karena matahari telah lama tak menyambut
pagi dengan kicau burung di setiap pucuk
pucuk dahan rendah hutan berbukit utara
lalu angin tak lagi mampu menahan cemas
hari yang menangis di sisi kayu gelondongan
tinggal sudah rimba nusantara dalam legenda
lalu hutan tak lagi menjadi bagian kehidupan
by : Zulkarnain Siregar
rumah musik suarasama
17 Juli 2010
ada renta yang tergores dalam raut wajah
ketika kucoba mengenal lebih detil tentang
apa saja yang tersimpan pada benak hari
hari yang begitu mengalir dalam secuil asa
yang engkau dirikan sejak tanah ini belum
terjamah tangan-tangan liar di sepanjang
aceh hingga papua. seandainya nusantara
renta itu lalu keriput, kering tak bercahaya
karena matahari telah lama tak menyambut
pagi dengan kicau burung di setiap pucuk
pucuk dahan rendah hutan berbukit utara
lalu angin tak lagi mampu menahan cemas
hari yang menangis di sisi kayu gelondongan
tinggal sudah rimba nusantara dalam legenda
lalu hutan tak lagi menjadi bagian kehidupan
by : Zulkarnain Siregar
rumah musik suarasama
17 Juli 2010
Oh
seyogianya ada maklum
aku tak melihat sepotong pun apa
siapa aku seperti yang kemarin-kemarin itu
di selasar waktu hingga siang, petang lalu terbenam
ada sekejap alpa yang mampir ke ubun-ubun menikam
seluruh nyali kepekaanku hingga tertumpu
di ujung nalar berasa tak berdaya
melumpuh rikuh sebuah arti
lalu laku ku
cuma tau
oh..
by:ZS
15 Juli 2010
aku tak melihat sepotong pun apa
siapa aku seperti yang kemarin-kemarin itu
di selasar waktu hingga siang, petang lalu terbenam
ada sekejap alpa yang mampir ke ubun-ubun menikam
seluruh nyali kepekaanku hingga tertumpu
di ujung nalar berasa tak berdaya
melumpuh rikuh sebuah arti
lalu laku ku
cuma tau
oh..
by:ZS
15 Juli 2010
Selasa, 13 Juli 2010
saat hening menyapa apa
kuajak seluruh bebatuan bukit cadas
di sepanjang pantai lepas itu untuk
sejenak hening pada air dan angin
yang bersenda gurau agar tak larut
dengan gemuruh riak kecipak ombak
yang menjejal biduk pecah dihempas
karang. lalu menghilang tak terbilang
lalu, seluruh ketapang dan rangkai
bakau di sepanjang pesisir sesaat
tafakkur, ingin memaklumi hening
memuji langit yang tak menurunkan
hujan seketika. niscaya isyaratkan
tanda padamnya cahaya di batas
senja yang guratkan jiwa bertapa
ranting-ranting eru tiada lagi menari
dan memetik malam yang tersanjung
bulan karena cahaya bagaikan pualam
sejenak memilih diam, tiada menyinar
merenda kelam diliput keheningan malam
lalu segala dedaunan pun turut, tanpa riuh
di puncak-puncak waktu , tak terhingga
tiada ada yang merambat mencari suara
sesaat kuingin hening bersama bebatuan
di bukit cadas, air dan ranting pepohonan
karena pelepah daun tak lagi mengayun
dicumbu angin yang parau sambut hening
walau gemuruh riak kecipak ombak telah
menjejal biduk, pecah dihempas karang
lalu menghilang tak terbilang malam kelam
by : zukarnain siregar
terinspirasi dari sebuah memoar
seorang yang skizofrenik.(kisah nyata)
13 Juli 2010
di sepanjang pantai lepas itu untuk
sejenak hening pada air dan angin
yang bersenda gurau agar tak larut
dengan gemuruh riak kecipak ombak
yang menjejal biduk pecah dihempas
karang. lalu menghilang tak terbilang
lalu, seluruh ketapang dan rangkai
bakau di sepanjang pesisir sesaat
tafakkur, ingin memaklumi hening
memuji langit yang tak menurunkan
hujan seketika. niscaya isyaratkan
tanda padamnya cahaya di batas
senja yang guratkan jiwa bertapa
ranting-ranting eru tiada lagi menari
dan memetik malam yang tersanjung
bulan karena cahaya bagaikan pualam
sejenak memilih diam, tiada menyinar
merenda kelam diliput keheningan malam
lalu segala dedaunan pun turut, tanpa riuh
di puncak-puncak waktu , tak terhingga
tiada ada yang merambat mencari suara
sesaat kuingin hening bersama bebatuan
di bukit cadas, air dan ranting pepohonan
karena pelepah daun tak lagi mengayun
dicumbu angin yang parau sambut hening
walau gemuruh riak kecipak ombak telah
menjejal biduk, pecah dihempas karang
lalu menghilang tak terbilang malam kelam
by : zukarnain siregar
terinspirasi dari sebuah memoar
seorang yang skizofrenik.(kisah nyata)
13 Juli 2010
Selendang Berenda Jingga
alunan kicau burung riuh merdu
merangkai symphoni dedaun di pucuk cemara
menyambut senja merah temaram
ada petang yang bahagia
bersenda gurau tentang suatu pagi
membincang cita dan asa
tiada picik juga keangkuhan
seperti mengalir pada darah tubuh
di bibir beranda senja.
mengapa ada ?
sepertinya ada yang menitip pesan pada malam yang menyimpan keheningan
sepotong janji yang sempat tertinggal siang itu
di dahan jambu
tempat kau biasa menuliskan puisi-puisi kehidupan
lalu larik pun bergema :" mengalirlah bagai air, tak seperti ikan di akuarium"
yang kau selipkan pada setiap daun jambu depan rumahku.
aku ...jadi teringat pada sebuah lukisan.
setiap gerak yang terinspirasi pada Pablo Picasso
walau terasa sedikit sejuk separuh malam
pucuk cemara berayun rendah
tak ada rembulan yang mewangi kebun kasturi
cuma kejora muncul di timur menawan
membawa secercah hajatan
dihidangkan dengan sebait senyuman
yang terangkai ketika siang-siang itu sungguh menjemu
perlahan dan pasti hilang tertelan
oleh raga yang penasaran
aku tau kesungguhanmu
di hadapan kesaksian langit malam ini
kau petikkan seluruh bintang terawang benderang
lalu, kau balut dengan selendang berenda jingga
dan kau ikat dengan seutas temali dari serat saujana
lewat paruh sayapmu yang sempat terluka
yang kau jaga agar tak mereka
kau sempatkan hadir sampaikan ketulusan itu
namun setelah itu
ada risau menderu rasa
tatkala kau titip sepi pada malam yang tak lagi benderang
lenting dawai mengalun dini
memecah kesunyian ujung malam
tatkala kata-kata mengalir bagai bahana
ada kegalauan merangkai frasa menjadi prosa
lirih jemari menyentuh tuts yang tak berhingga
tertanya-tanya "ruh" kata
mau dibawa kemana aku cetusnya?
lalu kulipat sebahagian pada jendela pagi.
kata tersenyum,
sepertinya ia bertemu dengan "raga"
selasa, 4 may 2010
seulas asa pada lemari tua
merangkai symphoni dedaun di pucuk cemara
menyambut senja merah temaram
ada petang yang bahagia
bersenda gurau tentang suatu pagi
membincang cita dan asa
tiada picik juga keangkuhan
seperti mengalir pada darah tubuh
di bibir beranda senja.
mengapa ada ?
sepertinya ada yang menitip pesan pada malam yang menyimpan keheningan
sepotong janji yang sempat tertinggal siang itu
di dahan jambu
tempat kau biasa menuliskan puisi-puisi kehidupan
lalu larik pun bergema :" mengalirlah bagai air, tak seperti ikan di akuarium"
yang kau selipkan pada setiap daun jambu depan rumahku.
aku ...jadi teringat pada sebuah lukisan.
setiap gerak yang terinspirasi pada Pablo Picasso
walau terasa sedikit sejuk separuh malam
pucuk cemara berayun rendah
tak ada rembulan yang mewangi kebun kasturi
cuma kejora muncul di timur menawan
membawa secercah hajatan
dihidangkan dengan sebait senyuman
yang terangkai ketika siang-siang itu sungguh menjemu
perlahan dan pasti hilang tertelan
oleh raga yang penasaran
aku tau kesungguhanmu
di hadapan kesaksian langit malam ini
kau petikkan seluruh bintang terawang benderang
lalu, kau balut dengan selendang berenda jingga
dan kau ikat dengan seutas temali dari serat saujana
lewat paruh sayapmu yang sempat terluka
yang kau jaga agar tak mereka
kau sempatkan hadir sampaikan ketulusan itu
namun setelah itu
ada risau menderu rasa
tatkala kau titip sepi pada malam yang tak lagi benderang
lenting dawai mengalun dini
memecah kesunyian ujung malam
tatkala kata-kata mengalir bagai bahana
ada kegalauan merangkai frasa menjadi prosa
lirih jemari menyentuh tuts yang tak berhingga
tertanya-tanya "ruh" kata
mau dibawa kemana aku cetusnya?
lalu kulipat sebahagian pada jendela pagi.
kata tersenyum,
sepertinya ia bertemu dengan "raga"
selasa, 4 may 2010
seulas asa pada lemari tua
Kamis, 08 Juli 2010
kalau esok masih ada asa I
hm.....sepertinya kali ini ingin aku berimajinasi
tentang sebuah negeri gemah ripah loh jinawi
yang ditata tenterem apik dilakoni para pendiri
kukuh pada ideologi, punya malu lakui korupsi
rakyat ramah dan sopan karena pemimpin disegan
jauh kekerasan apalagi suara senapan tak di depan
musyawarah mufakat jalan menangani persoalan
malu berteriak karena disangka tak ada peradaban
senyum selalu menyertai sapaan berhadap-hadapan
bukan sekadar laku kepura-puraan,dalam berkenalan
tapi leluhur sudah menurunkan warisan untuk peran
jangan tinggalkan karena alasan yang bukan-bukan
tiada pernah prilaku lempar batu sembunyi tangan
itu tanda tak biasa bertanggungjawab secara jantan
bukankah semua sudah mahfum itu kelakuan setan
menguji keuntungan di tengah - tengah kekisruhan
pemimpinnya berhati masa depan, menjaga harapan
rakyat yang menanti kesejahteraan tanpa kesulitan
sebab kejujuran dijunjung tinggi wujud sumpah jabatan
bukan laku penghianatan lalu pengabaian dan pembiaran
setiap adab dan budaya yang tumbuh mendapat peran
tanpa harus berhadapan dengan cara pemberangusan
sebab negeri punya cara melindungi setiap peradaban
yang membuat harum bangsa di sepanjang pergaulan
kalau esok masih ada asa buat benih cita kemanusiaan
by : zulkarnain siregar
dari berbagai catatan fenomena negeri
yang sudah melalai pesan Pancasila
sebuah imajinasi pada 08 Juli 2010
tentang sebuah negeri gemah ripah loh jinawi
yang ditata tenterem apik dilakoni para pendiri
kukuh pada ideologi, punya malu lakui korupsi
rakyat ramah dan sopan karena pemimpin disegan
jauh kekerasan apalagi suara senapan tak di depan
musyawarah mufakat jalan menangani persoalan
malu berteriak karena disangka tak ada peradaban
senyum selalu menyertai sapaan berhadap-hadapan
bukan sekadar laku kepura-puraan,dalam berkenalan
tapi leluhur sudah menurunkan warisan untuk peran
jangan tinggalkan karena alasan yang bukan-bukan
tiada pernah prilaku lempar batu sembunyi tangan
itu tanda tak biasa bertanggungjawab secara jantan
bukankah semua sudah mahfum itu kelakuan setan
menguji keuntungan di tengah - tengah kekisruhan
pemimpinnya berhati masa depan, menjaga harapan
rakyat yang menanti kesejahteraan tanpa kesulitan
sebab kejujuran dijunjung tinggi wujud sumpah jabatan
bukan laku penghianatan lalu pengabaian dan pembiaran
setiap adab dan budaya yang tumbuh mendapat peran
tanpa harus berhadapan dengan cara pemberangusan
sebab negeri punya cara melindungi setiap peradaban
yang membuat harum bangsa di sepanjang pergaulan
kalau esok masih ada asa buat benih cita kemanusiaan
by : zulkarnain siregar
dari berbagai catatan fenomena negeri
yang sudah melalai pesan Pancasila
sebuah imajinasi pada 08 Juli 2010
Selasa, 06 Juli 2010
sepercik air di bibir dedaun
ada sepercik air di bibir dedaun
dekat sisi putik flamboyan
yang menitik bening entah
dari mana..walau aras tak
memendam awan di jenggala
ketika petang itu di ufuk
barat terlihat jendela langit
memerah jingga hampir sepertiga
lalu, ada mentari yang secuil
ingin memejamkan mata
di balik mega putih yang berarak
sembari berhasrat menyelimutinya
dalam kelambu peraduan senja
serasa tangan ingin menyentuh
butir-butir bening yang berkilau
itu hingga ke hulu putik berbias
yang meneguh cermin pada wajah
sesiapa yang menatapnya. namun
ada jiwa yang mencegah raga di
bentara masa sebelum air menerpa
dedaun di pucuk-pucuk flamboyan.
kuhampiri jiwa-jiwa yang kering
di pusar taman, lunglai tak terberi
beningnya percikan air di sudut petang
yang memerah jingga ketika mentari
ingin lelap, mencari peraduan senja
lalu, kucoba meniris butir demi
butir air tuk berbagi pada puspa
penghuni taman yang telah lama
di tinggal pergi para penjaga hati
karena rindu pun hampir telah tiada
dalam ratapan waktu karena kalbu
tak lagi mampu jadi taman beraneka
puspa guna menjaga jiwa dan raga
by:Zulkarnain Siregar
Petang di Taman Hati
6 Juli 2010
dekat sisi putik flamboyan
yang menitik bening entah
dari mana..walau aras tak
memendam awan di jenggala
ketika petang itu di ufuk
barat terlihat jendela langit
memerah jingga hampir sepertiga
lalu, ada mentari yang secuil
ingin memejamkan mata
di balik mega putih yang berarak
sembari berhasrat menyelimutinya
dalam kelambu peraduan senja
serasa tangan ingin menyentuh
butir-butir bening yang berkilau
itu hingga ke hulu putik berbias
yang meneguh cermin pada wajah
sesiapa yang menatapnya. namun
ada jiwa yang mencegah raga di
bentara masa sebelum air menerpa
dedaun di pucuk-pucuk flamboyan.
kuhampiri jiwa-jiwa yang kering
di pusar taman, lunglai tak terberi
beningnya percikan air di sudut petang
yang memerah jingga ketika mentari
ingin lelap, mencari peraduan senja
lalu, kucoba meniris butir demi
butir air tuk berbagi pada puspa
penghuni taman yang telah lama
di tinggal pergi para penjaga hati
karena rindu pun hampir telah tiada
dalam ratapan waktu karena kalbu
tak lagi mampu jadi taman beraneka
puspa guna menjaga jiwa dan raga
by:Zulkarnain Siregar
Petang di Taman Hati
6 Juli 2010
Sabtu, 03 Juli 2010
buat bumi yang merindu pohon
ketika petang nanti, kusanding padamu
sepasang pohon yang selalu kau rindu
untuk menjaga bulir-bulir air pada tubuh
mungilmu yang begitu lama telah nelangsa
ditelan masa karena laku manusia suka
suka untuk membiarkan alam jauh dari
tiada ada dalam kehidupan bermakna
Lalu, mulailah menanam antara petang
dan malam dikala hujan turun menyeka
langit untuk bersemi . Mengapa jua tanah
dibiarkan menunggu begitu lama padahal
akar-akar akan membungkus kehangatan
cinta sepasang pohon yang selalu dinanti
cinta sepasang pohon akan berbuah pada
alam ketika tanah tak lagi merana karena
kerakusan manusia. sendalu tak lagi panas
sesaat sepasang pohon melahirkan anak
cucu di rumah besar yang bernama bumi
pada kesadaran semesta yang tak berhingga
karenanya, sepasang pohon ini juga tanda masih
ada kehidupan esok yang tetap menunggu anak
cucu manusia, jika masih ada tersisa asa dan rasa
sebelum kita lupa, setelah bencana lalu menyapa
by : Zulkarnain Siregar
kado persandingan 4 juli 2010
anak sahabat komunitas taman
sepasang pohon yang selalu kau rindu
untuk menjaga bulir-bulir air pada tubuh
mungilmu yang begitu lama telah nelangsa
ditelan masa karena laku manusia suka
suka untuk membiarkan alam jauh dari
tiada ada dalam kehidupan bermakna
Lalu, mulailah menanam antara petang
dan malam dikala hujan turun menyeka
langit untuk bersemi . Mengapa jua tanah
dibiarkan menunggu begitu lama padahal
akar-akar akan membungkus kehangatan
cinta sepasang pohon yang selalu dinanti
cinta sepasang pohon akan berbuah pada
alam ketika tanah tak lagi merana karena
kerakusan manusia. sendalu tak lagi panas
sesaat sepasang pohon melahirkan anak
cucu di rumah besar yang bernama bumi
pada kesadaran semesta yang tak berhingga
karenanya, sepasang pohon ini juga tanda masih
ada kehidupan esok yang tetap menunggu anak
cucu manusia, jika masih ada tersisa asa dan rasa
sebelum kita lupa, setelah bencana lalu menyapa
by : Zulkarnain Siregar
kado persandingan 4 juli 2010
anak sahabat komunitas taman
Masihkah Cemaraku di Toba
waktu itu kudengar kicau pilu sepasang pungguk
yang hinggap di sebatang cemara, kaku ringkih
di sepanjang pagi utara jalan menuju bukit toba
tentang tanah menanti pepohonan rindang lalu
membungkus bumi dari keserakahan siang yang
tiada berhingga meluruh dedaunan tanpa tersisa
kulihat tangis pungguk yang tak lagi membasahi
pelupuk mata karena cemara tempatnya hinggap
telah terbakar nafsu serakah para pemilik kuasa
yang tiada mampu menahan rasa untuk memiliki
cemara di sepanjang pesisir toba tempat marga
marga yang dulu mengurai silsilah somba debata
pungguk terus berkicau mencari dahan-dahan
masih berdaun di penjuru pucuk walau cemara
tempat ia berdiam, lalu menetas keturunan t'lah
kering karena bukit tak lagi menyimpan air dari
rimbunnya hutan di pesisir penjaga namaku toba
tempat para marga mengingat leluhur, awal kata
lalu, esok tak kudengar lagi kicauan pilu sepasang
pungguk di tengah padang liar tiada pepohonan
dan dedaunan yang rindang di puncak bukit toba
entah kemana..? Kutahu ia rajin menjaga cemara
cemara rindang bersama kuasa para marga-marga
yang masih tersisa untuk merawat cemara di toba
Jangan tinggalkan toba, sebab kita masih disana
By: Zulkarnain Siregar
Catatan Perjalanan 2009
disalin ulang 4 juli 2010
Written 16 minutes ago · Comment · Like
yang hinggap di sebatang cemara, kaku ringkih
di sepanjang pagi utara jalan menuju bukit toba
tentang tanah menanti pepohonan rindang lalu
membungkus bumi dari keserakahan siang yang
tiada berhingga meluruh dedaunan tanpa tersisa
kulihat tangis pungguk yang tak lagi membasahi
pelupuk mata karena cemara tempatnya hinggap
telah terbakar nafsu serakah para pemilik kuasa
yang tiada mampu menahan rasa untuk memiliki
cemara di sepanjang pesisir toba tempat marga
marga yang dulu mengurai silsilah somba debata
pungguk terus berkicau mencari dahan-dahan
masih berdaun di penjuru pucuk walau cemara
tempat ia berdiam, lalu menetas keturunan t'lah
kering karena bukit tak lagi menyimpan air dari
rimbunnya hutan di pesisir penjaga namaku toba
tempat para marga mengingat leluhur, awal kata
lalu, esok tak kudengar lagi kicauan pilu sepasang
pungguk di tengah padang liar tiada pepohonan
dan dedaunan yang rindang di puncak bukit toba
entah kemana..? Kutahu ia rajin menjaga cemara
cemara rindang bersama kuasa para marga-marga
yang masih tersisa untuk merawat cemara di toba
Jangan tinggalkan toba, sebab kita masih disana
By: Zulkarnain Siregar
Catatan Perjalanan 2009
disalin ulang 4 juli 2010
Written 16 minutes ago · Comment · Like
Biduk tak berhulu
Tak terbacaku raut bulan, telah tersembunyi di balik awan
yang berarak sebelum dinihari tiba dari sepanjang arung
sungai yang membawaku ke hulu rasa.saat masa meramu
kata menumpang biduk kantata, merdu mengalun embun
di tengah pekatnya malam yang terpantul ketika hening
menghablur dalam raga, bukan rupa yang merenda rasa
Tertanya hasrat lewat kata, mengapa bulan tak mampu
menyeruak awan dengan sinar yang rupawan? padahal
malam telah memberi isyarat agar bulan menjadi baiduri
pangganti laila majenun sebelum dinihari tiba pada waktu
yang siap membelenggu. Lalaikah rasa yang merindu kalbu
karena terselip pilu tak jemu-jemu menggugah tubuh ragu
Mengapa bulan tak menyelami sungai hingga ke hulu, agar
biduk mampu menyusuri setiap detil lekuk air yang bening
lalu berkayuh pada riak gemericik arung pemecah hening
Masihkah bulan terpesona pada arakan awan yang merayu
lalu melantun sendu dengan aroma kelamnya membayang
bayang riuhnya sendalu. Hingga bayu tak mampu merindu
Lalu ke hulu kah biduk bersama malam yang sama seperti
tak berbulan menyusuri tepian tanpa detil lekuk air yang
bening lalu berkayuh pada riak gemericik arung pemecah
hening. Biduk melaju menuju hulu tanpa meragu di ujung
waktu, lalu tak ingin lagi merayu cumbu malam di bawah
rimbunan rumpun bambu di sepanjang tepian sungai itu
By: Zulkarnain Siregar
green grey :3 Juli 2010
yang berarak sebelum dinihari tiba dari sepanjang arung
sungai yang membawaku ke hulu rasa.saat masa meramu
kata menumpang biduk kantata, merdu mengalun embun
di tengah pekatnya malam yang terpantul ketika hening
menghablur dalam raga, bukan rupa yang merenda rasa
Tertanya hasrat lewat kata, mengapa bulan tak mampu
menyeruak awan dengan sinar yang rupawan? padahal
malam telah memberi isyarat agar bulan menjadi baiduri
pangganti laila majenun sebelum dinihari tiba pada waktu
yang siap membelenggu. Lalaikah rasa yang merindu kalbu
karena terselip pilu tak jemu-jemu menggugah tubuh ragu
Mengapa bulan tak menyelami sungai hingga ke hulu, agar
biduk mampu menyusuri setiap detil lekuk air yang bening
lalu berkayuh pada riak gemericik arung pemecah hening
Masihkah bulan terpesona pada arakan awan yang merayu
lalu melantun sendu dengan aroma kelamnya membayang
bayang riuhnya sendalu. Hingga bayu tak mampu merindu
Lalu ke hulu kah biduk bersama malam yang sama seperti
tak berbulan menyusuri tepian tanpa detil lekuk air yang
bening lalu berkayuh pada riak gemericik arung pemecah
hening. Biduk melaju menuju hulu tanpa meragu di ujung
waktu, lalu tak ingin lagi merayu cumbu malam di bawah
rimbunan rumpun bambu di sepanjang tepian sungai itu
By: Zulkarnain Siregar
green grey :3 Juli 2010
Jumat, 02 Juli 2010
jangan sangka aku tak tahu Share
kau toreh warna putih lewat hatimu yang hitam
di kertas-kertas republik ini, agar disangka kau
bisa dilupakan sebagai tersangka yang telah
meluluh lantakkan bumi ini dari kelakuan
tak bertanggungjawab itu.
kau ubah ratusan ribu kilometer persada pertiwi
seolah mesumlah pokok utama negeri hari ini
yang tak seberapa korban dari ulahmu yang
sesungguhnya membuat tulang-tulang ngilu
tak tertelan anjing-anjing malam yang selalu
menggong-gong di kelamnya gorong-gorong
menunggu urat lehermu untuk ditaring srigala
jangan kau sangka aku tak tahu
jangan......
kau sangka......
aku tak tahu
jangan
kau sangka......
aku tak tahu
kutunggu urat leher itu untuk ditaring srigala
di kertas-kertas republik ini, agar disangka kau
bisa dilupakan sebagai tersangka yang telah
meluluh lantakkan bumi ini dari kelakuan
tak bertanggungjawab itu.
kau ubah ratusan ribu kilometer persada pertiwi
seolah mesumlah pokok utama negeri hari ini
yang tak seberapa korban dari ulahmu yang
sesungguhnya membuat tulang-tulang ngilu
tak tertelan anjing-anjing malam yang selalu
menggong-gong di kelamnya gorong-gorong
menunggu urat lehermu untuk ditaring srigala
jangan kau sangka aku tak tahu
jangan......
kau sangka......
aku tak tahu
jangan
kau sangka......
aku tak tahu
kutunggu urat leher itu untuk ditaring srigala
Langganan:
Postingan (Atom)