ketika itu dingin seperti tak hendak
beranjak bersedekap dalam malam
yang memagut gelut tak berselimut
lalu rasa ngilu dan getar bibir mulai
terasa dan bau belerang menyapa
perjalanan malam mulak tu huta
tatkala pagi secercah cahaya surya
mulai menyapa bagas ni oppung doli
rumah dinding berpapan hitam pekat
dan berkolong dekat, dipenuhi kayu-kayu
bakar , lebar dengan beranda tak berpagar
warisan untuk amang,inang,dohot tulang
berpancur satu yang mengalirkan sungai jernih
berbatu besar-besar, ramainya dekke jurung beranak
pinak di bawah akar-akar tunggang pohon tarutung
lewati jalan setapak penuh semak liar
tanah merah licin tak selalu berbatu
menikung ke lereng-lereng tanjak
kudaki pagi dalam untaian kabut putih
bersama embun-embun berjingkat
dari satu pelepah ke pelepah lain
pijarkan rona violet karena disengat sinar
matahari menembus rimbunan hapea di kanan bukit
dan haminjon di antara lebatnya hijau
bukit yang mengitari huta simangumban
di kanan ada padang gelagah hingga ke lembah-lembah
rajuti serat pemintal tikar dan pembungkus halame, pun
dibawa ke pasar ketika musim onan , pekan minggu tiba
para penggalas dari tarutung, sidempuan, sipirok,sarulla
haminjon dan hapea sedikit ikan hasil menjala dari sungai
di lembah sana ditukar dengan beras dan rempah dapur
agar menyala sepekan yang akan datang tiba menyapa
dari simangumban ini cerita 3 dasawarsa entah mengapa
tak mau hilang ditelan masa, walau kini tentu tak serupa
Oleh : Zulkarnain Siregar
sebuah memoar simangumban pasar
pahae jae.tapanuli utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar