bukankah malam tinggal sepenggal ketika bulan jatuh
di tengah belantara sepi. tak ada yang menderu, lalu
mengusik rindu pada angin di padang gulita. seluruh
randu menapal baris di kanan kiri dukuh, merona bayu
walau tinggal sepenggal malam, bulan pun lalu bergincu
bergeliat binal, ingin menampik awan yang melulu ragu
dalam laku. Kemanakah kalbu yang merayu bunga Tayu
di sudut jalan tempat selubung sendu tak risaukan tabu
ada sepotong asa yang terbang tinggi di atas kepala
mencari jejak yang sempat tertinggal bersama cerita
yang terjalin indah tatkala portugis mendarat di jawa
merenda cita sembari semaikan benih di perawan jiwa
dibalik bayang-bayang makna, ada jeda yang meronta
ingin berucap kata di tengah padang gulita.zarathustra
yang mereka ingat : dalam berbagai teks hermeneutika
tentang sebuah tafsir yang awam tak berbatas etika
lalu di sebuah sudut rumah berbatu, aku menunggu malu
jawaban ragu dari bulan yang lalu bergincu rona abu-abu
karena dahulu sempat mendayu-dayu dalam nada merdu
bersama ibu yang sempat lahirkan lagu senandung rindu
bukalah malam, walau tinggal sepenggal,sebelum bulan
terbaring panjang di tengah belantara, rindukan awan
meski ada di tengah padang gulita, tak berperawakan
terbayang di cermin-cermin malam tiada berkesudahan
Mengapa malam sempat tinggal sepenggal? walau resah
tak menyambut ria yang dulu tersusun indah pada risalah.
ketika semua pintu dan jendela terbuka, mengapa makna
tiada begitu berdaya menjelajah semua teksture sejarah
masih berdarahkah zarathustra dihadapan hermeneutika
ketika perawan jiwa meronta untuk melukiskan bianglala
di kebun-kebun belanda sepanjang jepara hingga kalingga
tempat semua para pendulang perkasa meremeh wanita
begitukah realita ?
By : Zulkarnain Siregar
dari perjalanan IV dukuhseti,keling hingga pantura:Jateng
medio- akhir mei 2010
Senin, 31 Mei 2010
Minggu, 23 Mei 2010
Masihkah Sebuah Kota, Tanya Makna
bermula asa dalam rajutan cita disemai taman
sediakala siapa saja datang menyaksikan rona
ada beragam warna : latar, laku juga suasana
tanggalkan statuta dalam debat-debat tanda
banyak gramatika yang selalu ditata tanpa jeda
ternyata tak membuat manusia kota mengenal
rupa, mulai pagi buta hingga senja tak menyapa
sebab kerja-kerja yang selalu meniada manusia
lalu kota, dihuni para pemilik kartel kasta harta
yang tak mau mengerti pada renesance budaya
yang tergerus terus dari tanggung jawab warga
sebab apa, rindu menyapa warga tak pernah ada
lihatlah taman-taman kita, tempat menjaja kerja
yang tak memberi aneka rona, mungkin juga tiada
makna tuk menjaga warna yang tumbuh berbeda
sebab, rindu taman tak selalu ada di wajah kota
lalu, kita tergesa-gesa suka bertutur cerita durhaka
bahwa kota sudah menjadi milik warga megapolita
dengan dinding batu yang tak berhingga tetangga
tanpa ada tanda-tanda tempat menghela waktu tersisa
kemudian, masihkah kota menjadi sentra cendekia
sebuah tanda yang memuat makna inspirasi warga?
ya..mari menduga rupa ............. lalu nantikan karsa
by : zulkarnain siregar
warga kota, 24 Mei 2010
sediakala siapa saja datang menyaksikan rona
ada beragam warna : latar, laku juga suasana
tanggalkan statuta dalam debat-debat tanda
banyak gramatika yang selalu ditata tanpa jeda
ternyata tak membuat manusia kota mengenal
rupa, mulai pagi buta hingga senja tak menyapa
sebab kerja-kerja yang selalu meniada manusia
lalu kota, dihuni para pemilik kartel kasta harta
yang tak mau mengerti pada renesance budaya
yang tergerus terus dari tanggung jawab warga
sebab apa, rindu menyapa warga tak pernah ada
lihatlah taman-taman kita, tempat menjaja kerja
yang tak memberi aneka rona, mungkin juga tiada
makna tuk menjaga warna yang tumbuh berbeda
sebab, rindu taman tak selalu ada di wajah kota
lalu, kita tergesa-gesa suka bertutur cerita durhaka
bahwa kota sudah menjadi milik warga megapolita
dengan dinding batu yang tak berhingga tetangga
tanpa ada tanda-tanda tempat menghela waktu tersisa
kemudian, masihkah kota menjadi sentra cendekia
sebuah tanda yang memuat makna inspirasi warga?
ya..mari menduga rupa ............. lalu nantikan karsa
by : zulkarnain siregar
warga kota, 24 Mei 2010
Kamis, 20 Mei 2010
akulah dinding lipatan ombak petang di bibir Parangtritis
"......................hm"
"yang penting tak usahlah berbohong...?"
kuingat itu ,....Ut.!
sebuah katarsis
dari perjalanan Bantul - Parangtritis
di atas sepeda motor besar
yang membawa badan besar
kita berdua
kau bercerita
tentang jawa
yang ada di kiri kanan
juga tentang itu jalan
dari prawirotaman kau jemput aku
lalui debat-debat yang jernihkan mataku
pada siku-siku dinding batu di sepanjang waktu
sebab
melulu begitu dibaluti lapis kasta yang dulu
namun, lain dengan dulu
ketika kau bercerita tentang lipatan ombak
yang berlapis-lapis meninggi bak dinding kristal
mengejar-kejar asa itu lalu pecah bersama pelukis alam
yang tak bergelar di bibir pantai , entah mendekat ketika
di atas kereta berkuda menunggu senja
ada senandung yang staccata
yang amat terasa tatkala
sampiran itu menjadi nyata
tentang dekilnya para pemilik sastra
yang bertudung kasta
bersemayam di langit-langit gajahmada
di ufuk barat tampaknya mentari enggan
cuma secuil meniris di sudut peraduan
begitu tak enggan jua melukis rawan
dalam legenda mistis ratu pantai selatan
ada jenggala yang sedikit menghijau
rindang di punggung bukit ,
memerah ditiris cahaya mentari
ketika ceramah ombak membayang semua sisi
langit yang di balut selendang mitologi
"...tak usahlah berbohong !"
pada samudera yang menjejal ombak
hingga landai pantai yang bertapal
mengisah yogya antara sleman dan bantul
sebab, rindu terjalnya ombak yang meninggi
bak dinding kristal , mengental, lalu sangsi
ketika pantai mengecup ombak
dan memeluk tubuhnya
akulah dinding lipatan ombak petang di bibir parangtritis
bY: zulkarnain siregar
catatan perjalanan IV bersama saut situmorang
petang selasa berdua di bawa kereta berkuda
18052010
"yang penting tak usahlah berbohong...?"
kuingat itu ,....Ut.!
sebuah katarsis
dari perjalanan Bantul - Parangtritis
di atas sepeda motor besar
yang membawa badan besar
kita berdua
kau bercerita
tentang jawa
yang ada di kiri kanan
juga tentang itu jalan
dari prawirotaman kau jemput aku
lalui debat-debat yang jernihkan mataku
pada siku-siku dinding batu di sepanjang waktu
sebab
melulu begitu dibaluti lapis kasta yang dulu
namun, lain dengan dulu
ketika kau bercerita tentang lipatan ombak
yang berlapis-lapis meninggi bak dinding kristal
mengejar-kejar asa itu lalu pecah bersama pelukis alam
yang tak bergelar di bibir pantai , entah mendekat ketika
di atas kereta berkuda menunggu senja
ada senandung yang staccata
yang amat terasa tatkala
sampiran itu menjadi nyata
tentang dekilnya para pemilik sastra
yang bertudung kasta
bersemayam di langit-langit gajahmada
di ufuk barat tampaknya mentari enggan
cuma secuil meniris di sudut peraduan
begitu tak enggan jua melukis rawan
dalam legenda mistis ratu pantai selatan
ada jenggala yang sedikit menghijau
rindang di punggung bukit ,
memerah ditiris cahaya mentari
ketika ceramah ombak membayang semua sisi
langit yang di balut selendang mitologi
"...tak usahlah berbohong !"
pada samudera yang menjejal ombak
hingga landai pantai yang bertapal
mengisah yogya antara sleman dan bantul
sebab, rindu terjalnya ombak yang meninggi
bak dinding kristal , mengental, lalu sangsi
ketika pantai mengecup ombak
dan memeluk tubuhnya
akulah dinding lipatan ombak petang di bibir parangtritis
bY: zulkarnain siregar
catatan perjalanan IV bersama saut situmorang
petang selasa berdua di bawa kereta berkuda
18052010
Senin, 17 Mei 2010
perjalanan IV
raut wajah bulat bulan malam
bergincu merah penanda rusuk tayu
pada setiap dedaun di sepanjang randu
yang menudung setiap jemari jalan separuh berbatu
ada asa yang tertunggu
pada waktu melumat ragu
membuat ku tak jua mampu
tuk lagi menjadi begitu haru biru
waktu pun melulu ke dadu
berlalu ke jalan yang buntu
hingga ke pantai wetu
berkisah keluh
dari kembang itu ada wajah yang tak lagi
mampu merawat malu di setiap jalan tak berbatu
bersimpuh riuh pada ranting randu
di kanan kiri yang berbilur baur
dalam birunya rindu
melulur kultur
tak jua berlalu
By: Zulkarnain Siregar
18 Mei 2001 catatan perjalanan sabtu-minggu
di desa gunung berbatu, tayu
bergincu merah penanda rusuk tayu
pada setiap dedaun di sepanjang randu
yang menudung setiap jemari jalan separuh berbatu
ada asa yang tertunggu
pada waktu melumat ragu
membuat ku tak jua mampu
tuk lagi menjadi begitu haru biru
waktu pun melulu ke dadu
berlalu ke jalan yang buntu
hingga ke pantai wetu
berkisah keluh
dari kembang itu ada wajah yang tak lagi
mampu merawat malu di setiap jalan tak berbatu
bersimpuh riuh pada ranting randu
di kanan kiri yang berbilur baur
dalam birunya rindu
melulur kultur
tak jua berlalu
By: Zulkarnain Siregar
18 Mei 2001 catatan perjalanan sabtu-minggu
di desa gunung berbatu, tayu
Minggu, 09 Mei 2010
Kuingat telah 20 tahun usiamu, anakku
siang itu tak seperti biasa,
sepenggal matahari tepat di atas kepala
sebelum azan menyapa umat berhimpun pada-Nya
kau hadir merona asa pada 15 Syawal di tahun apa adanya
Suara tangismu pertama tak pernah kudengar,
di tengah suasana rindu mereka jiwa yang nanar
sepertinya ada kecamuk rasa bahagia dan gusar
tatkala kutandai restuku kau hadir lalui jalan caesar
12.15 tepat siang itu kau menjadi bahagian hidupku,
yang kutau dari suster Clara yang merawat ibumu
di ruang kedap udara yang bernama icu
lalu'''
hari-hari bahagia bersama tangismu yang menginspirasi
asaku dalam dirimu
hari hari bahagia bersama tingkahmu yang menginspirasi
cita dan cintaku dalam dirimu
hari-hari bahagia bersama rajukmu yang menginspirasi
idealismeku dalam dirimu
hari-hari bahagia bersama amarahmu yang menginspirasi
tanggung jawabku dalam dirimu
hari-hari bahagia bersama tekunmu yang menginspirasi
kecerdasanku dalam dirimu
hari-hari pun terus berlalu, hingga kuingat 20 tahun
sudah usiamu, anakku
tapi, ini negerimu masih begini-begini
belum juga bergerak menjadi begitu itu
lalu ada sepenggal gusar........
dimana kutitipkan sisa usia mudamu nanti
kalau kau tetap jadi kuli di negeri tak berdikari ini
yang selalu membuat perjuangan melawan nurani
menjadi jatidiri setiap hati di persada pertiwi.
Kuingat 20 tahun lalu
masih begini-begini
anakku
By: Zulkarnain Siregar
09 Mei 2010 : 4 my daughter
sepenggal matahari tepat di atas kepala
sebelum azan menyapa umat berhimpun pada-Nya
kau hadir merona asa pada 15 Syawal di tahun apa adanya
Suara tangismu pertama tak pernah kudengar,
di tengah suasana rindu mereka jiwa yang nanar
sepertinya ada kecamuk rasa bahagia dan gusar
tatkala kutandai restuku kau hadir lalui jalan caesar
12.15 tepat siang itu kau menjadi bahagian hidupku,
yang kutau dari suster Clara yang merawat ibumu
di ruang kedap udara yang bernama icu
lalu'''
hari-hari bahagia bersama tangismu yang menginspirasi
asaku dalam dirimu
hari hari bahagia bersama tingkahmu yang menginspirasi
cita dan cintaku dalam dirimu
hari-hari bahagia bersama rajukmu yang menginspirasi
idealismeku dalam dirimu
hari-hari bahagia bersama amarahmu yang menginspirasi
tanggung jawabku dalam dirimu
hari-hari bahagia bersama tekunmu yang menginspirasi
kecerdasanku dalam dirimu
hari-hari pun terus berlalu, hingga kuingat 20 tahun
sudah usiamu, anakku
tapi, ini negerimu masih begini-begini
belum juga bergerak menjadi begitu itu
lalu ada sepenggal gusar........
dimana kutitipkan sisa usia mudamu nanti
kalau kau tetap jadi kuli di negeri tak berdikari ini
yang selalu membuat perjuangan melawan nurani
menjadi jatidiri setiap hati di persada pertiwi.
Kuingat 20 tahun lalu
masih begini-begini
anakku
By: Zulkarnain Siregar
09 Mei 2010 : 4 my daughter
Kamis, 06 Mei 2010
asaku ringkih tertatih di sudut kota
ada bilangan ringkih tertatih-tatih mencari sudut//
ingin tapa dari belantara dinding kota//
yang begitu lama terlelap//
tanpa tanda//
menatap lengang....kehilangan makna//
lalu kemana adabnya kota ?//
berlalukah begitu saja tanpa jiwa//
mungkin sejumput asa sedang menghela di balaikota//
merindu karya orang yang melindungi warga//
bukan seputar angka-angka//
semburat merah telah memoles rupa mentari//
yang mengintip malu di ufuk timur//membuka pagi kamis ceria //
lalu menyapa warga kota ...// selamat pagi medan//
semoga enam hari ke depan//
warga berdaulat memulai adab
kamis pagi, 6 mei 2010
by : zulkarnain siregar
ingin tapa dari belantara dinding kota//
yang begitu lama terlelap//
tanpa tanda//
menatap lengang....kehilangan makna//
lalu kemana adabnya kota ?//
berlalukah begitu saja tanpa jiwa//
mungkin sejumput asa sedang menghela di balaikota//
merindu karya orang yang melindungi warga//
bukan seputar angka-angka//
semburat merah telah memoles rupa mentari//
yang mengintip malu di ufuk timur//membuka pagi kamis ceria //
lalu menyapa warga kota ...// selamat pagi medan//
semoga enam hari ke depan//
warga berdaulat memulai adab
kamis pagi, 6 mei 2010
by : zulkarnain siregar
Selendang Berenda Jingga
alunan kicau burung riuh merdu//merangkai symphoni dedaun di pucuk cemara//
menyambut senja merah temaram//ada petang yang bahagia//
bersenda gurau tentang suatu pagi//membincang cita dan asa//
tiada picik juga keangkuhan //seperti mengalir pada darah tubuh //
di bibir beranda senja. mengapa ada ?
sepertinya ada yang menitip pesan pada malam yang menyimpan keheningan//
sepotong janji yang sempat tertinggal siang itu// di dahan jambu//
tempat kau biasa menuliskan puisi-puisi kehidupan//
lalu larik pun bergema :" mengalirlah bagai air, tak seperti ikan di akuarium"
yang kau selipkan pada setiap daun jambu depan rumahku.
aku ...jadi teringat pada sebuah lukisan.
setiap gerak yang terinspirasi pada Pablo Picasso
walau terasa sedikit sejuk separuh malam//pucuk cemara berayun rendah//
tak ada rembulan yang mewangi kebun kasturi//cuma kejora muncul di timur menawan// membawa secercah hajatan//dihidangkan dengan sebait senyuman//
yang terangkai ketika siang-siang itu sungguh menjemu//
perlahan dan pasti hilang tertelan// oleh raga yang penasaran
aku tau kesungguhanmu//di hadapan kesaksian langit malam ini//
kau petikkan seluruh bintang terawang benderang//
lalu, kau balut dengan selendang berenda jingga//
dan kau ikat dengan seutas temali dari serat saujana//
lewat paruh sayapmu yang sempat terluka //yang kau jaga agar tak mereka
kau sempatkan hadir sampaikan ketulusan itu// namun setelah itu//
ada risau menderu rasa// tatkala kau titip sepi pada malam yang tak lagi benderang
lenting dawai mengalun dini// memecah kesunyian ujung malam//
tatkala kata-kata mengalir bagai bah//
ada kegalauan merangkai frasa menjadi prosa//
lirih jemari menyentuh tuts yang tak berhingga//
tertanya-tanya "ruh" kata //mau dibawa kemana aku cetusnya? lalu kulipat sebahagian pada jendela pagi. kata tersenyum, sepertinya ia bertemu dengan "raga"
by : Zulkarnain Siregar
seulas asa pada lemari tua
menyambut senja merah temaram//ada petang yang bahagia//
bersenda gurau tentang suatu pagi//membincang cita dan asa//
tiada picik juga keangkuhan //seperti mengalir pada darah tubuh //
di bibir beranda senja. mengapa ada ?
sepertinya ada yang menitip pesan pada malam yang menyimpan keheningan//
sepotong janji yang sempat tertinggal siang itu// di dahan jambu//
tempat kau biasa menuliskan puisi-puisi kehidupan//
lalu larik pun bergema :" mengalirlah bagai air, tak seperti ikan di akuarium"
yang kau selipkan pada setiap daun jambu depan rumahku.
aku ...jadi teringat pada sebuah lukisan.
setiap gerak yang terinspirasi pada Pablo Picasso
walau terasa sedikit sejuk separuh malam//pucuk cemara berayun rendah//
tak ada rembulan yang mewangi kebun kasturi//cuma kejora muncul di timur menawan// membawa secercah hajatan//dihidangkan dengan sebait senyuman//
yang terangkai ketika siang-siang itu sungguh menjemu//
perlahan dan pasti hilang tertelan// oleh raga yang penasaran
aku tau kesungguhanmu//di hadapan kesaksian langit malam ini//
kau petikkan seluruh bintang terawang benderang//
lalu, kau balut dengan selendang berenda jingga//
dan kau ikat dengan seutas temali dari serat saujana//
lewat paruh sayapmu yang sempat terluka //yang kau jaga agar tak mereka
kau sempatkan hadir sampaikan ketulusan itu// namun setelah itu//
ada risau menderu rasa// tatkala kau titip sepi pada malam yang tak lagi benderang
lenting dawai mengalun dini// memecah kesunyian ujung malam//
tatkala kata-kata mengalir bagai bah//
ada kegalauan merangkai frasa menjadi prosa//
lirih jemari menyentuh tuts yang tak berhingga//
tertanya-tanya "ruh" kata //mau dibawa kemana aku cetusnya? lalu kulipat sebahagian pada jendela pagi. kata tersenyum, sepertinya ia bertemu dengan "raga"
by : Zulkarnain Siregar
seulas asa pada lemari tua
Selasa, 04 Mei 2010
Lalulah ke Samudera Merenda Gita
lalu eru tak lagi berbisik di telinga senja
sesaat bayu menghilang dari dermaga
tempat menambat biduk tiada berkala
datangi samudera ditingkap rasa
timpang petaka merenda niscaya kata
sempat terdengar desau bayu jelaga
ditimpa ranting waru,melantunkan gita
petang yang datang bersama pasang
merentang padang tiada sesisa pun luput...
di tengah riang anak berdada telanjang
kulukiskan lantunan gita itu pada dinding
langit yang semburat merah menjingga
dipenuhi awan putih yang berarak lekang
di tengah kemilau hati lalu eloklah....
menjaga hujan basahi pucuk ketapang
sepertinya lenting harpa pun terdengar
lembut, mengantar rindu bayu mendedar
lalu selalu menunggu waktu
mengusik keheningan ranting waru
di sepanjang langit berpantai biru
masihkah bayu memancar delapan mata
memindai raga lalu pulihkan semua rasa
yang terluka oleh ratusan kata sia-sia
yang teraniaya oleh cara tak bermuka
kembalilah ke jiwa kala
bukan pada raga dermaga
by: Zulkarnain Siregar
05 05 2010 . 00.20 wib
sesaat bayu menghilang dari dermaga
tempat menambat biduk tiada berkala
datangi samudera ditingkap rasa
timpang petaka merenda niscaya kata
sempat terdengar desau bayu jelaga
ditimpa ranting waru,melantunkan gita
petang yang datang bersama pasang
merentang padang tiada sesisa pun luput...
di tengah riang anak berdada telanjang
kulukiskan lantunan gita itu pada dinding
langit yang semburat merah menjingga
dipenuhi awan putih yang berarak lekang
di tengah kemilau hati lalu eloklah....
menjaga hujan basahi pucuk ketapang
sepertinya lenting harpa pun terdengar
lembut, mengantar rindu bayu mendedar
lalu selalu menunggu waktu
mengusik keheningan ranting waru
di sepanjang langit berpantai biru
masihkah bayu memancar delapan mata
memindai raga lalu pulihkan semua rasa
yang terluka oleh ratusan kata sia-sia
yang teraniaya oleh cara tak bermuka
kembalilah ke jiwa kala
bukan pada raga dermaga
by: Zulkarnain Siregar
05 05 2010 . 00.20 wib
Langganan:
Postingan (Atom)