acapkali kau datang lampiaskan murka
menyeret aku ke lubuk-lubuk bencana
tak beri aku sedetik pun bernafas, meluluh
sekujur tubuh hingga lantak tak lagi tegak
dalam sekejap mata, sirnakan asa sekian masa
menggumpal di dada lumpuh tak berdaya.
apa dustaku padamu? kayu kurambah dari
ranting-ranting berpenghuni hingga batang
gelondongan yang bisu. tak pernah kupeduli
kuambil seribu, lalu kutanam satu, hari demi
hari lewati sungai-sungai yang tak lagi bertepi
lalu kujual dengan upeti agar bukit-bukit mati
suri sendiri, tanpa ara, jelutung, pinus, drini
tarbantin, pelangi dan trembesi yang menjaga
leluhur bumi menyatu dalam darah suaka satwa
lalu hulu pun silang sengketa, sisakan lelah tak
berdaya, satwa-satwa satu -satu tinggal nama
pada peta dan pelajaran bumi nusantara. kemana
harimau sumatera penjaga rimba? tiada taring
atau sudah berganti jadi mamalia kota, ingin
menerkam raga orang-orang tak berdaya tinggal
dikali-kali bencana yang dikirim dari hulu-hulu itu
entah mengapa kau tak merasa apa-apa
pada rimba-rimba yang pernah ada.
padahal seisi sakumu hingga istana
kaugali dari bukit-bukit di hulu sana,
melimpah ruah tujuh keturunan masa
masih juga bersisa, hingga kemana-mana
persis seperti air yang meluap-luap itu,
kaukata sebab hujan semata tak ada apa
apa yang terdengar dari berita, selepas
cerita dari mata ke mata bersama kolega
sembari minum kopi , sarapan roti mentega
lantas kalau datang bencana mau bilang apa?
by : zulkarnain siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar