Jumat, 01 Maret 2013

 gelisah hujan



Buat sahabatku Bung Ahmad Arief Tarigan dan Hujan Tarigan

kupesan... ini
sepiring nasi goreng kaki lima
dan secangkir kopi hitam, kawan
petang mungkin hingga malam
mari kita ulang rindu yang mengangkang

di meja segi empat ini juga
suara lalu dicipta dari kata yang tak memenjara
lelaki muda menanti hujan sahabat setia
perempuan-perempuan belia terus menyulam kata
sembari bermultimedia

dari kata yang terucap
rindu mulai terasa, diskusi mulai dihela
ia lelaki yang belajar di seberang sana
rambut lebat, garis-garis muka mulai mencerna
gelisah didada mulai dibuka : kota tak lagi kenal dia

hujan tiba
suara mulai bermakna
tiris itu jelas ada di depan mata
kadang dibawa angin ke utara
kadang diayun entah kemana-mana

tapi cerita mulai menjelajah eropa
kadang ke yunani tua, kadang ke cina dan rusia
tapi sungguh itu awal mulai bicara tentang suara
suara-suara yang menjadi kata
suara-suara yang membingkai sastra
suara-suara yang membahasakan raga
suara-suara yang lalu berhenti di tanda
suara-suara yang tak jadi nada

lalu di kepala ada angan-angan akademia
ketika socrates berdialektika di bawah pohon-pohon tua
anak-anak muda yang tumbuh tak cuma karena norma-norma
dari tangan-tangan yang membelenggu ranah afeksia
tanpa kepekaan pada zaman yang belum tentu sama

perempuan belia mulai bicara
mencari kata yang tak lagi memenjara
setiap kata dalam gerak dan suara
" mengapa  ? "
" mengapa  ? "
sadar mulai menjelma
bahwa suara-suara tak harus berhenti di tanda
bahwa suara-suara hilang dari bahasa raga

lelaki di seberang sana
lalu menanti jiwa-jiwa yang merdeka
dari akademia suara hujan yang ada
hingga reda dari awan gelap di atas sana


pinang corner, 28 pebruari 2013
oleh : lentera Bias Jingga

Tidak ada komentar: