Rabu, 06 Februari 2013
Pui_Si Boru Enggan
kepadanya ia menuliskan puisi
tentang batu-batu cadas, rumah tinggi dan dinding papan hitam pekat
sungai kecil yang mengalir dari mata air di kaki sibual-buali
tanah merah, lereng bukit, buluh pancuran dan jalan menikung itu
bau belerang, kolam air panas di belakang mesjid
dan tor sibohi yang penuh ornamen angkola
terus mengalir jernih dari setiap nafas dan ingatannya
masih terasa waktu menoreh pesan
lelaki yang membawa kuda penuh beban
lelaki yang memanen karet menyusuri lembah setiap sepekan
dan perempuan-perempuan yang pergi ke pekan
dalam puisi yang ia nyanyikan setiap memuji Tuhan
ia pungut perlahan dari ranting-ranting ingatan
merapikannya pada setiap pucuk harapan
meluruhkan dedaunan yang tergerus zaman
ia terus menulis puisi
hingga kata-kata itu telah mati
batu-batu cadas pun meranggas
rumah tinggi tak berdinding papan hitam pekat lagi
sungai kecil yang tak lagi mengalir dari kaki sibual-buali
tanah merah, lereng bukit, buluh pancuran dan jalan menikung
satupersatu mulai lenyap dari semua ingatan.
bau belerang, kolam air panas di belakang mesjid
dan tor sibohi yang penuh ornamen angkola
berhenti mengalir dari setiap nafas dan ingatan
walau masih terasa waktu terus menoreh pesan
l
elaki yang membawa kuda penuh beban
lelaki yang memanen karet menyusuri lembah setiap sepekan
dan perempuan-perempuan masih pergi ke pekan
namun bukan dalam puisi yang ia nyanyikan setiap memuji Tuhan
ia masih memungut perlahan dari ranting-ranting ingatan
bukan untuk merapikannya pada setiap pucuk harapan
bukan meluruhkan dedaunan yang tergerus zaman
ia kehilangan tujuan sibual-buali elegi masa depan
lentera bias jingga
dini hari 23 Januari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar